Saturday, January 17, 2009

Hukum untuk orang yang meninggalkan sholat bhg.2

PASAL KEDUA

KONSEKWENSI HUKUM KARENA RIDDAHYANG DISEBABKAN KARENA MENINGGALKAN SHALAT ATAU SEBAB YANG LAINNYA

Ada beberapa kosekwensi hukum baik yang bersifat duniawi, maupun ukhrawi, yang terjadi karena riddah ( keluar dari Islam ) :

1- Kehilangan haknya sebagai wali.

Oleh karena itu, dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan persyaratan kewalian dalam Islam, dengan demikian, ia tidak boleh dijadikan wali untuk anak anaknya atau selain mereka, dan tidak boleh menikahkan salah seorang putrinya atau putri orang lain yang dibawah kewaliannya.

Para ulama fiqh kita - Rahimahumullah – telah menegaskan dalam kitab kitab mereka yang kecil maupun besar, bahwa disyaratkan beragama islam bagi seorang wali apabila mengawinkan wanita muslimah, mereka berkata : “ tidak sah orang kafir menjadi wali untuk seorang wanita muslimah.”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata : “ Tidak sah suatu pernikahan kecuali disertai dengan seorang wali yang bijaksana, dan kebijaksanaan yang paling agung dan luhur adalah agama Islam, sedang kebodohan yang paling hina dan rendah adalah kekafiran, kemurtaddan dari Islam".

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :

وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ

"Tidak ada orang yang membenci agama Nabi Ibrahim selain dari orang yang membodohkan dirinya sendiri,....." (Surah Al-Baqarah:130)

2- Kehilangan haknya untuk mewaris harta kerabatnya.

Sebab orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam, begitu pula orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir, berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

" لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم "

“Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim.” ( HR. Bukhari dan Muslim ).

3- Dilarang baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haramnya.

Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

يا أيها الذين آمنوا إنما المشركون نجس فلا يقرب المسجد الحرام بعد عامهم هذا

"Wahai orang yang beriman! Sesungguhnya orang musyrik itu najis, oleh itu janganlah mereka menghampiri Masjid Al-Haraam sesudah tahun mereka ini;....." (Surah At-Taubah:28)

4- Diharamkan makan haiwan sembelihannya.

Seperti unta, sapi, kambing, dan haiwan lainnya, yang termasuk syarat dimakannya adalah sembelih, karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya harus seorang muslim atau ahli kitab ( Yahudi dan Nasrani ), adapun orang murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka sembelihan mereka tidak halal.

Al Khazin dalam kitab tafsirnya mengatakan : “Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan orang orang majusi dan orang orang musyrik seperti kaum musyrikin arab, para penyembah berhala, dan mereka yang tidak mempunyai kitab, haram hukumnya.”

Dan Imam Ahmad mengatakan : “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang berpendapat selain demikian, kecuali orang orang ahli bid’ah.”

5- Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat
untuknya.

Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَىَ قَبْرِهِ

إِنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُواْ وَهُمْ فَاسِقُونَ


"Dan janganlah engkau sembahyangkan seorang pun yang mati dari orang munafik itu selama-lamanya, dan janganlah engkau berada di (tepi) kuburnya,kerana sesungguhnya mereka telah kufur kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati sedang mereka dalam keadaan fasik." (Surah At-Taubah:84)

Dan firmanNya :
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

"Tidaklah dibenarkan bagi Nabi dan orang yang beriman, meminta ampun bagi orang yang musyrik, sekali pun orang itu kaum kerabat sendiri,sesudah nyata bagi mereka bahawa orang musyrik itu adalah ahli neraka." (Surah At-Taubah:113)

Dan Firman Allah selanjutnya:

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلاَّ عَن مَّوْعِدَةٍ وَعَدَهَا

إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ

"Dan bukanlah istighfar Nabi Ibrahim bagi bapanya melainkan kerana janji yang dijanjikan kepadanya; dan apabila ternyata kepada Ibrahim bahawa bapanya musuh bagi Allah, ia pun berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim itu lembut hati lagi penyabar. "
(Surah At-Taubah:113)

Doa seseorang untuk memintakan ampun dan rahmat untuk orang yang mati dalam keadaan kafir, apapun sebab kekafirannya, adalah pelanggaran dalam doa, dan merupakan suatu bentuk penghinaan kepada Allah, dan penyimpangan dari tuntunan Nabi dan orang orang yang beriman.

Bagaimana mungkin orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat mau mendoakan orang yang mati dalam keadaan kafir, agar diberi ampun dan rahmat, padahal dia adalah musuh Allah ?

Sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
مَن كَانَ عَدُوًّا لِّلّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ
فَإِنَّ اللّهَ عَدُوٌّ لِّلْكَافِرِينَ

"Sesiapa memusuhi Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, khasnya malaikat Jibril dan Mikail, (maka ia akan diseksa oleh Allah) kerana sesungguhnya Allah adalah musuh bagi orang yang kafir." (Surah Al-Baqarah:98)

Dalam ayat ini, Allah telah menjelaskan bahwa Dia adalah musuh nya semua orang orang kafir. Yang wajib bagi orang mu’min ialah melepaskan diri dari setiap orang kafir, karena firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاء مِّمَّا تَعْبُدُونَ
إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ


"Dan tatkala Nabi Ibrahim berkata kepada bapanya dan kaumnya: Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah. Yang lain dari Tuhan yang menciptakan daku, kerana sesungguhnya Ia tetap memberi petunjuk kepadaku. " (Surah Az-Zukhruf:26-27)

Dan firmanNya :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ


اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ


لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن شَيْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

"Sesungguhnya adalah bagi kamu pada Nabi Ibrahim dan pengikut-pengikutnya contoh ikutan yang baik, semasa mereka berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah yang lain dari Allah; kami ingkarkan penyembahan kamu dan nyatalah permusuhan dan kebencian di antara kami denganmu selama-lamanya, sehingga kamu menyembah Allah Yang Esa, kecuali ucapan Ibrahim kepada bapanya: Aku akan memohon keampunan bagimu, dan aku tidak berkuasa menahan (azab) dari Allah sedikitpun daripada menimpamu. (Ibrahim berkata): Wahai Tuhan kami! Kepada-Mu kami berserah diri, dan kepada-Mu kami bertaubat, serta kepada-Mu jua tempat kembali!" ( Surah Al-Mumtahanah:4)

Untuk mencapai demikian adalah dengan mutaba’ah ( meneladani ) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
وَأَذَانٌ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأَكْبَرِ أَنَّ اللّهَ بَرِيءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِن

"Dan inilah perisytiharan dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia, pada Hari Haji yang terbesar, bahawa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya memutuskan tanggungjawab terhadap orang musyrik;...." (Surah At-Taubah:3)
6- Dilarang menikah dengan wanita muslimah.
Karena dia kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash dan ijma’.

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ
مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُم
أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذَلِكُم
حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

"Wahai orang yang beriman! Apabila orang perempuan yang mengaku beriman datang berhijrah kepada kamu, maka ujilah (iman) mereka; Allah lebih mengetahui akan iman mereka; maka sekiranya kamu mengetahui bahawa mereka beriman, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang kafir itu. Dan tidak halal pula orang kafir itu bagi mereka. Dan berikan mereka apa yang mereka belanjakan. Dan tidaklah salah kamu mengahwini mereka apabila kamu memberi kepada mereka mas kahwinnya. Dan janganlah kamu berpegang pada akad nikahmu dengan wanita-wanita kafir, dan mintalah apa yang telah kamu belanjakan, dan biarlah mereka meminta apa yang mereka telah berikan. Demikianlah hukum Allah; Ia hukumkan di antara kamu. Dan (ingatlah), Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana. " (Surah Al-Mumtahanah:10)

Dikatakan dalam kitab Al Mughni, jilid 6, hal 592 : “Semua orang kafir, selain Ahli kitab, tidak ada perbezaan pendapat diantara para ulama, bahwa wanita wanita dan sembelihan sembelihan mereka haram bagi orang Islam …, dan wanita wanita yang murtad ( keluar dari Islam ) ke agama apapun haram untuk dinikahi, karena dia tidak diakui sebagai pemeluk agama baru yang dianutnya itu, sebab kalau diakui sejak semula sebagai pemeluk agama itu, maka kemungkinan boleh dihalalkan.” ( seperti wanita yang berpindah dari agama Islam ke agama ahli kitab, maka diharamkan untuk dinikahi, tetapi bila wanita itu sejak semula telah memeluk agama ahli kitab ini, maka dihalalkan untuk dinikahi, pent ).

Dan disebutkan dalam bab “ orang murtad ”, jilid 8, hal 130 : “Jika dia kawin, tidak sah perkawinannya, karena tidak ditetapkan secara hukum untuk menikah, dan selama tidak ada ketetapan hukum untuk pernikahannya, dilarang pula pelaksanaan pernikahannya, seperti pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah.”

Sebagaimana diketahui, telah dikemukakan dengan jelas, bahwa dilarang menikah dengan wanita yang murtad, dan tidak sah kawin dengan laki laki yang murtad.

Dikatakan pula dalam kitab Al-Mughni, jilid 6, hal 298 : “apabila salah soerang dari suami isteri murtad sebelum sang isteri digauli, maka batallah pernikahan mereka seketika itu, dan masing masing pihak tidak berhak untuk mewarisi yang lain, namun, jika murtad setelah digauli maka dalam hal ini ada dua riwayat : pertama : segera dipisahkan, kedua : ditunggu sampai habis masa iddah.”

Dan disebutkan dalam Al-Mughni, jilid 6, hal 639 : “Batalnya pernikahan karena riddah sebelum sang isteri digauli adalah pendapat yang dianut oleh mayoritas para ulama, berdasarkan banyak dalil, adapun bila terjadi setelah digauli, maka batallah pernikahan seketika itu juga, menurut pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah, dan menurut pendapat Imam Syafii : ditunggu sampai habis masa iddahnya, dan menurut Imam Ahmad ada dua riwayat seperti kedua madzhab tersebut.”

Kemudian disebutkan pula pada halaman 640 : “apabila suami isteri itu sama sama murtad, maka hukumnya adalah seperti halnya apabila salah satu dari keduanya murtad, jika terjadi sebelum digauli, segera diceraikan antara keduanya. Dan jika terjadi sesudahnya, apakah segera diceraikan atau menunggu sampai habis masa iddah ? ada dua riwayat, dan inilah madzhab Syafi’i."

Selanjutnya disebutkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidaklah batal berdasarkan istihsan ( kebijaksanaan yang diambil berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tanpa mengacu kepada nash secara khusus, pent ), karena dengan demikian, agama mereka berbeza, sehingga ibaratnya seperti kalau mereka sama sama beragama Islam. Kemudian analogi yang digunakan itu disanggah oleh penulis al Mughni dari segala segi dan aspeknya.

Apabila telah jelas dan nyata bahwa pernikahan orang murtad dengan laki laki atau perempuan yang beragama Islam itu tidak sah, berdasarkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah, dan orang yang meninggalkan shalat adalah kafir berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah serta pendapat para sahabat, maka jelaslah bagi kita bahwa seseorang apabila tidak shalat, dan mengawini seorang wanita muslimah, maka pernikahannya tidak sah, dan tidak halal baginya wanita itu dengan akad nikah ini, begitu pula hukumnya apabila pihak wanita yang tidak shalat.

Hal ini berbeza dengan pernikahan orang orang kafir, ketika masih dalam keadaan kafir, seperti seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita kafir, kemudian sang istri masuk Islam, jika ia masuk Islam sebelum digauli, maka batallah pernikahan tadi, tapi jika masuk Islam sesudah digauli, belum batal pernikahannya, namun ditunggu : apabila sang suami masuk Islam sebelum habis masa iddah, maka wanita tersebut tetap menjadi isterinya, tetapi apabila telah habis masa iddahnya sang suami belum masuk Islam, maka tidak ada hak baginya terhadap isterinya, karena dengan demikian nyatalah bahwa pernikahannya telah batal, semenjak sang isteri masuk Islam.

Pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam ada sejumlah orang kafir yang masuk Islam bersama isteri mereka, dan pernikahan mereka tetap diakui oleh Nabi, kecuali jika terdapat sebab yang mengharamkan dilangsungkannya pernikahan tersebut, seperti apabila suami isteri itu berasal dari agama majusi dan terdapat hubungan kekeluargaan yang melarang dilangsungkannya pernikahan di antara keduanya, maka kalau keduanya masuk Islam, diceraikan seketika itu juga antara mereka berdua, karena adanya sebab yang mengharamkan tadi.

Masalah ini tidak seperti halnya orang muslim, yang menjadi kafir karena meninggalkan shalat, kemudian kawin dengan seorang wanita muslimah, wanita muslimah itu tidak halal bagi orang kafir berdasarkan nash dan ijma’, sebagaimana telah diuraikan di atas, sekalipun orang itu aslinya kafir bukan karena murtad, untuk itu, jika ada seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita muslimah, maka pernikahannya batal, dan wajib diceraikan antara keduanya. Apabila laki laki itu masuk Islam dan ingin kembali kepada wanita tersebut, maka harus dengan akad nikah yang baru.

7- Hukum anak orang yang meninggalkan shalat dari perkawinannya dengan wanita muslimah.

Bagi pihak isteri, menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, maka anak itu adalah anaknya, dan bagaimanapun tetap dinasabkan kepadanya, karena pernikahannya adalah sah.

Sedang menurut pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, dan pendapat ini yang benar sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada fasal pertama, maka kita tinjau terlebih dahulu : Jika sang suami tidak mengetahui bahwa pernikahannya batal, atau tidak menyakini yang demikian itu, maka anak itu adalah anaknya, dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan suami isteri yang dilakukannya dalam keadaan seperti ini adalah boleh menurut keyakinannya, sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan syubhat ( yang meragukan ), dan karenanya anak tadi tetap diikutkan kepadanya dalam nasab.

Namun jika sang suami itu mengetahui serta menyakini bahwa pernikahannya batal, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya, karena tercipta dari sperma orang yang berpendapat bahwa hubungan yang dilakukannya adalah haram, karena terjadi pada wanita yang tidak dihalalkan baginya.

KEDUA : KONSEKWENSI HUKUM YANG BERSIFAT UKHRAWI.

1- Dicaci dan dihardik oleh para malaikat.

Bahkan para malaikat memukuli seluruh tubuhnya, dari bahagian depan dan belakangnya.

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :

وَلَوْ تَرَى إِذْ يَتَوَفَّى الَّذِينَ كَفَرُواْ الْمَلآئِكَةُ يَضْرِبُونَ

وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ وَذُوقُواْ عَذَابَ الْحَرِيقِ

"Dan kalau engkau melihat, ketika malaikat mengambil nyawa orang kafir dengan memukul muka dan belakang mereka (sambil berkata): Rasalah kamu azab seksa neraka yang membakar." (Surah Al-Anfaal:50)

Dan firman Allah subhaanahu wa ta'ala selanjutnya:

ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيكُمْ وَأَنَّ اللّهَ لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيدِ

"Yang demikian itu ialah disebabkan oleh tangan kamu sendiri, kerana sesungguhnya Allah tidak sekali-kali berlaku zalim kepada hamba-hamba-Nya. " (Surah Al-Anfaal:51)

2- Pada hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama orang orang kafir dan dan musyrik, karena ia termasuk dalam golongan mereka.

Firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ

“( Kepada para malaikat diperintahkan ) Himpunkanlah orang yang zalim itu, dan orang yang berkeadaan seperti mereka, serta benda-benda yang mereka sembah." ( Surah Ash-Shaaffat:22)

Lagi Firman Allah subhaanahu wa ta'ala:

مِن دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ

"Yang lain dari Allah, serta hadapkanlah mereka ke jalan yang membawa ke Neraka." (Surah Ash-Shaaffat:23)

Kata “ أزواج ” bentuk jama’ dari “ زوج ” yang berarti : jenis, macam.

“Kumpulkanlah orang orang yang musyrik dan orang orang yang sejenis mereka, seperti orang orang kafir dan yang dzalim lainnya.”

3- Kekal untuk selama lamanya di alam neraka.

Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَّا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا

"Sesungguhnya Allah telah melaknat orang kafir dan disediakan bagi mereka api Neraka yang menjulang. Kekallah mereka di dalamnya selama-lamanya; mereka pula tidak akan memperoleh sesiapa pun yang akan menjadi pelindung atau penolong. Pada masa muka mereka dibalik-balikkan dalam Neraka, mereka berkata: Alangkah baiknya kalau kami dahulu taat kepada Allah serta Rasul Allah! (Surah Al-Ahzaab:64-66)


PENUTUP

Hanya sampai di sini apa yang ingin penulis sampaikan, tentang permasalahan yang besar ini, yang telah melanda banyak orang.

Pintu taubat masih terbuka bagi siapapun yang hendak bertaubat, karena itu, saudaraku se Islam, segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan ikhlas semata mata kepada-Nya, menyesali apa yang telah diperbuat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memperbanyak amal ketaatan.


Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :


إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا

"Kecuali orang yang bertaubat dan beriman serta mengerjakan amal yang baik, maka orang itu, Allah akan menggantikan kejahatan mereka dengan kebaikan; dan adalah Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. Dan sesiapa yang bertaubat serta beramal soleh, maka sesungguhnya (dengan itu) ia bertaubat kepada Tuhannya dengan sebenar-benar taubat. " (Surah Al-Furqaan:70-71)

Semoga Allah melimpahkan taufikNya kepada kita dalam urusan ini, menunjukkan kepada kita semua jalan-Nya yang lurus, jalan orang orang yang dikaruniai kenikmatan oleh Allah, iaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin, Bukan jalan orang orang yang dimurkai atau orang orang yang tersesat.

Selesai ditulis oleh : Al faqir Ilallahi ta’ala - Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin- Pada tanggal 23 Shafar 1407 H. (Dinukil dari حكم تارك الصلاة, Edisi Indonesia Hukum orang yang meninggalkan sholat, penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin rahimahullah)

Penyunting/Editor: HAR

No comments: