Friday, May 15, 2009

Kesesatan Qardhawi (2) - Menyeru cinta pada Yahudi & Nasrani

Menyerukan Untuk Mencintai Yahudi Dan Nashrani

Dakwah untuk mencintai ahli kitab bukan hanya dilakukan oleh Qaradhawi saja tapi juga dipropagandakan oleh para dai ikhwanul muslimin lainnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Para pendahulu yang telah melakukan propaganda ini antara lain Hasan Al Banna, Muhammad Al Ghazali, Al Hudhaibi, dan lain-lainnya. Di antara mereka semua yang paling sering menyerukan adalah Qaradhawi, sebagaimana pengakuan yang dituangkan dalam berbagai buku, wawancara, dan ceramahnya secara terang-terangan.

Untuk menggiring simpati kaum awam yang jahil dan taklid buta, Qaradhawi memoles dakwah yang bathil ini dengan berbagai syubhat :

Syubhat Pertama :

Qaradhawi berdalil dengan firman Allah :

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah : 8)
Di sini Qaradhawi telah berpaling dan pura-pura tidak tahu terhadap penjelasan Ahli Tafsir tentang makna ayat ini. Untuk menyanggah istidlal (pengambilan dalil) yang keliru ini, penulis mempunyai beberapa bantahan.

Pertama, dalam ayat ini terdapat petunjuk untuk berbuat kebaikan kepada orang-orang yang tersirat di dalamnya. Ada perbedaan antara al birr (kebaikan) dengan al mawaddah (kecintaan) yang diserukan oleh Qaradhawi. Al Mawaddah adalah al hubb (rasa cinta) sebagaimana yang tertera dalam Lisaanul ‘Arab (I:247) dan Al Qaamuus serta buku-buku bahasa Arab lainnya. Sedangkan al birr bermakna ash shillah (penghubung), tidak durhaka serta berbuat ihsan (kebajikan) sebagaimana yang termaktub dalam Lisaanul ‘Arab (I:371) dan Al Qaamuus.

Berbuat kebaikan kepada orang-orang non Muslim yang tidak memerangi Islam dan dalam rangka mendakwahi mereka ke dalam Islam adalah perkara yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun, berbuat kebaikan dan kebajikan kepada non Muslim tidak menuntut adanya rasa kecintaan dan kasih sayang kepada mereka. Inilah yang dipahami oleh para ulama Salafus Shalih terdahulu dan kemudian, antara lain :

1. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.

Beliau berkata : “Sesungguhnya al birr (berbuat kebaikan), ash shillah (menghubungkan), dan al ihsan (berbuat kebajikan) tidak menuntut adanya sikap saling mencintai dan saling menyayangi karena hal ini terlarang dalam Al Qur’an :

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.’ (QS. Al Mujadilah : 22)

Sesungguhnya ayat ini berlaku umum baik untuk semua yang memerangi maupun yang tidak memerangi. Wallahu A’lam.” [Al Fath 5:276 pada hadits nomor 2620]

2. Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.Beliau telah menjelaskan :

“Sesungguhnya di awal surat ini --yakni surat Al Mumtahanah-- Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang umat Islam menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasih. Allah telah memutuskan cinta kasih antara Muslim dan kafir. Sebagian kaum Muslimin merasa bingung dan menganggap bahwa berbuat baik kepada orang kafir termasuk bagian dari loyalitas dan kecintaan kepada mereka. Maka Allah menjelaskan bahwa hal itu tidak termasuk loyalitas yang terlarang karena Allah tidak melarang berbuat baik kepada mereka. Bahkan Allah telah menuliskan kebaikan ada pada setiap sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Adapun yang terlarang adalah ber-wala’ (setia) kepada orang kafir dan mencintai mereka.” (Ahkaamu Ahlidz Dzimmah I:301 bab Hukmu Awqafihim wa Waqful Muslim ‘Alaihim)

3. Imam Syaukani rahimahullah.

Beliau menyatakan tentang bolehnya menerima hadiah dari orang kafir dan bolehnya memberikan hadiah kepada mereka. Kemudian beliau mengatakan : “Hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :‘Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.’ (QS. Al Mujadilah : 22)
Sesungguhnya ayat ini berlaku umum kepada orang yang memerangi ataupun yang tidak memerangi. Sedangkan ayat yang telah disebutkan sebelumnya adalah khusus bagi yang memerangi saja. Perbuatan baik dan bijak tidak mengharuskan adanya rasa saling mencintai dan mengasihi yang terlarang.” [Nailul Authaar VI:4]

4. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah.

Dalam Kitab Al Qaumiyah, setelah menyebutkan hadits Asma bin Abu Bakar dan perintah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepadanya untuk berbakti kepada ibunya, Syaikh bin Baz berkata : “Kebaikan semacam ini dan berbagai kebaikan lain yang semisalnya bisa menyebabkan seseorang masuk Islam dengan senang hati. Di dalamnya terdapat unsur silaturrahim dan kedermawaman terhadap orang yang membutuhkan. Hal ini sangat bermanfaat bagi kaum Muslimin, tidak membahayakan, dan sama sekali bukan termasuk loyalitas terhadap orang-orang kafir. Ini sangat jelas bagi yang berakal dan berfikir.” [Al I’laam bi Naqdil Kitaab Al Halaal wal Haraam catatan kaki halaman 15]

5. Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullahu ta’ala.Beliau berkata :

“Ada perbedaan yang sangat mencolok antara ihsan dalam interaksi, dengan mawaddah (kecintaan dalam hati).
Makanya dalam surat AL Mumtahanah ayat 8 Allah berfirman :

Hendaknya kalian berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka.’

Dalam ayat tersebut Allah tidak berfirman dengan mengatakan:
'‘Hendaknya kalian mencintai mereka.’ [Al I’laam bin Naqdil Kitaab Al Halaal wal Haraam catatan kaki halaman 12]

Para pembaca yang budiman, demikianlah sebagian pendapat ulama dalam memahami arti al birr dan al ihsan terhadap ahli kitab, sesuai dengan yang termaktub dalam ayat. Mereka membedakan arti berbuat kebajikan dan mencintai. Saya tidak mendapati seorang pun dari para ulama dan Ahli Tafsir yang berpendapat seperti pendapatnya Yusuf Al Qaradhawi kecuali orang-orang yang semanhaj dengannya.

Di antara yang memperjelas perbedaan yang sangat jauh antara berbuat kebajikan dengan kecintaan yang menumbuhkan loyalitas yaitu Allah melarang kaum Muslimin untuk mencintai dan berkasih sayang antara ayah dengan anak-anaknya jika memang mereka itu lebih mencintai kekufuran daripada keimanan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah : 22)

Kendati demikian, Allah tetap memerintahkan untuk berbuat kebajikan kepada mereka dengan berfirman :

“Maka bergaullah dengan keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman : 15)

Ayat ini menunjukkan bahwa berbuat kebajikan tidak menuntut adanya kecintaan dalam hati.

Kedua, perhatikanlah apa yang dikatakan oleh para Ahli Tafsir mengenai ayat tadi. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : “Para Ahli Tafsir menjelaskan ayat ini adalah rukhshah dari Allah bagi orang-orang yang tidak memerangi kaum Muslimin dan juga diperbolehkan berbuat kebajikan kepada mereka walaupun loyalitas sudah terputus di antara mereka.” (Kitab Zaadul Masiir)Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena agama dan juga tidak bekerjasama untuk mengusirmu seperti para wanita dan orang-orang yang lemah dari mereka.” (Tafsiir Ibnu Katsiir III:349)

Muhammad bin Jamaluddin Al Qasimi rahimahullah berkata : “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang kafir dari penduduk Mekkah yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu. Itulah keadilan. Inilah batasan loyalitas yang tidak dilarang bahkan itu diperintahkan sebagai hak mereka.” (Mahaasinut Ta’wiil 16:128)

Ketiga, sudah menjadi hal yang diketahui khalayak yang mempunyai ilmu walaupun minim bahwa ayat-ayat yang melarang ber-wala’ (loyal) kepada orang-orang kafir adalah larangan yang bersifat umum tanpa ada pengecualian dari suatu kelompok tertentu. Dan tidak ada seorang Muslim pun yang keluar dari larangan ini kecuali orang yang dipaksa melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang menyelisihi syariat dengan syarat tidak dilakukan dengan hati. Dari sinilah diketahui bahwa mencintai orang-orang kafir adalah haram selama-lamanya.

Para pembaca yang budiman, dari pembahasan di atas kita bisa mengetahui bahwa Qaradhawi tidak merujuk kepada pemahaman Salaf dan tidak meniti manhaj mereka dalam memahami Al Qur’an.

Syubhat Kedua :

Syubhat lain yang dijadikan dalih bagi Qaradhawi untuk membolehkan mencintai Ahli Kitab adalah ucapannya :

“Sesungguhnya Ahli Kitab bila mereka membaca Al Qur’an, mereka mendapati pujian di dalam Al Qur’an terhadap Kitab-Kitab mereka dan Rasul-Rasul serta Nabi-Nabi mereka.” (Al Halaal wal Haraam halaman 128)

Untuk membantah syubhat kedua ini, penulis sampaikan beberapa sanggahan kepadanya.

Pertama, memang Allah telah menurunkan kitab-kitab suci kepada para Rasul yang telah diutus-Nya. Tak ada seorang Muslim pun yang menyangkal bahwa beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepada mereka seperti Taurat, Zabur, dan Injil serta beriman kepada para Rasul-Nya termasuk bagian dari rukun iman. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an dan yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya. (Mereka mengatakan) : ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari Rasul-Rasul-Nya’. Dan mereka mengatakan : ‘Kami dengar dan kami taat’. (Mereka berdoa) : ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’.” (QS. Al Baqarah : 285)

Juga seperti yang tercantum dalam hadits Jibril yang panjang ketika ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang iman. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab :

“Iman adalah kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan para Rasul-Nya … .” (HR. Muslim dari Umar radliyallahu 'anhu)

Kedua, pujian Allah kepada kitab suci dan rasul-rasul dari kalangan ahli kitab tidak mewajibkan agar kta mencintai mereka karena Allah memuji firman-Nya sendiri yang diturunkan dalam Taurat, Zabur, dan Injil beserta para Rasul-Nya yang terpilih. Tapi Allah tidak memuji kepada ahli kitab yang merupakan saudaranya kera dan babi, yang telah mendustakan Allah, merubah firman-Nya, membunuh para Rasul-Nya, dan menyakiti hamba-hamba-Nya dari jaman dahulu kala sampai sekarang.

Ketiga, sesungguhnya Allah telah mensifati mereka dengan beberapa sifat buruk, melaknat mereka, mengabarkan bahwa mereka senantiasa mencampuradukkan kebenaran dengan kebathilan, dan menyembunyikan kebenaran walaupun mereka mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al Maidah : 78-79)
"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang dhalim.” (QS. Al Jumu’ah : 5)

“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan : ‘Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah’. Padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran : 78)

Allah juga telah menerangkan sifat mereka yang menentang wahyu-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian yaitu Al Kitab (Taurat), mereka diseru kepada Kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka, kemudian sebagian dari mereka berpaling dan mereka selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. Ali Imran : 23)

“Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari Al Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar).” (QS. An Nisa’ : 44)

Dalam menjelaskan keadaan ahli kitab, banyak sekali ayat Al Qur’an yang mencela mereka. Akan tetapi Qaradhawi membutakan diri dan mengabaikan ayat-ayat tersebut lalu berkelana mencari-cari dalih yang bisa dipakai untuk mengelabui kaum Muslimin yang awam. Memang dalam Al Qur’an ada ayat yang memuji ahli kitab namun pujian itu tertuju kepada ahli kitab yang telah masuk Islam atau yang konsisten di atas agama Nabinya karena mereka tidak berjumpa dengan masa kenabian Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan, mereka itu termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ali Imran : 113-114)

Hanya orang bingung saja yang mengira bahwa ayat ini adalah pujian Allah terhadap ahli kitab walaupun mereka tetap berada di atas agama mereka. Padahal ayat ini turun kepada segolongan ahli kitab yang telah masuk Islam dan setelah masuk Islam mereka dicela oleh oleh orang-orang kafir.
Asbabunnuzul ayat tersebut dijelaskan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam Kitab Shahiihul Musnad min Asbaabin Nuzuul sebagai berikut :

Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu berkata : “Setelah Abdullah bin Salam dan Tsa’labah bin Sya’ah serta Asad bin Ubaid dari kalangan masuk Islam, mereka beriman, bersedekah, dan mencintai Islam. Maka pendeta-pendeta yahudi yang masih kafir mengatakan :

‘Tidak ada yang beriman kepada Muhammad dan mengikutinya melainkan dia adalah orang-orang kita yang paling jelek. Seandainya mereka termasuk dari orang-orang pilihan kami maka mereka tidak akan meninggalkan agama nenek moyang.’Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat mengenai hal itu :

“Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang)".

"Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan, mereka itu termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ali Imran : 113-114) [HR. Ath Thabrani]

Sedangkan azbabunnuzul versi yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu. Dia berakata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengakhirkan shalat Isya kemudian keluar menuju ke masjid dan manusia sudah menunggu-nunggu untuk shalat. Beliau bersabda :

“Tiada seorang pun pemeluk agama yang berdzikir kepada Allah pada waktu seperti ini selain kalian.”

Ibnu Mas’ud berkata : “Lalu turunlah ayat tentang mereka :‘Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab … .’

Sampai ayat :‘… Dan apa saja yang kebajikan yang mereka kerjakan maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya dan Allah Maha Mengtahui orang-orang yang bertakwa’.” [HR. Ahmad dalam Kitab Shahiihul Musnad Asbaabin Nuzuul]

Atas dasar inilah maka pujian kepada ahli kitab hanya berlaku khusus bagi yang mempunyai sifat-sifat yang tertera dalam ayat saja.

Syubhat Ketiga :

Qaradhawi berkata : “Al Qur’an tidak memanggil mereka kecuali dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab) dan yaa ayyuhal ladziina uutul kitaaba (wahai orang-orang yang diberi Al Kitab). Dengan lafadh ini Al Qur’an menunjukkan bahwa pada dasarnya agama mereka adalah agama samawi. Maka antara ahli kitab dan kaum Muslimin dijembatani oleh kasih sayang dan kekerabatan. Hal ini tergambar dalam pokok-pokok agama yang satu, semua Nabinya telah diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (Al Halaalu wal Haraam halaman 327)

Para pembaca yang budiman, lihatlah! Betapa tajamnya pengaburan dan betapa lemahnya istidlal yang ditempuh oleh Qaradhawi. Untuk meluruskannya, saya memiliki beberapa bantahan.

Pertama, sesungguhnya panggilan Allah dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab), sama sekali tidak menuntut adanya kecintaan dan kasih sayang kepada mereka.Kedua, sesungguhnya hubungan dan kekerabatan yang disebutkan oleh Qaradhawi telah diputuskan oleh Allah dengan diutusnya Rasulullah dan diwahyukannya Al Qur’an yang me-nasakh (menghapus) seluruh syariat dan agama sebelumnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran : 85)

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al Maidah : 48)

Imam Asy Syaukani menjelaskan ayat tersebut dalam Kitab Fathul Qadiir :“Firman Allah ‘Azza wa Jalla :

‘Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan … .’

Maksudnya adalah dengan apa yang diturunkan kepadamu dalam Al Qur’an karena Al Qur’an mencakup semua syariat Allah dalam kitab-kitab terdahulu. Sedangkan makna kalimat :‘Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.’

Adalah hawa nafsu pemeluk agama-agama yang telah lalu.

Allah telah menghapus semua agama dengan datangnya Islam. Walaupun seandainya ahli kitab tidak mengubah agama mereka dan mereka tetap berpegang teguh dengan agama lama mereka tapi dengan datangnya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan turunnya Al Qur’an serta dihapusnya semua syariat yang lain maka ahli kitab tidak boleh lagi memeluk agama lama mereka.

Terlebih lagi jika mereka telah merubah kitab suci dan meninggalkan agama mereka sendiri. Penjelasan ini sejalan dengan hadits Abu Hurairah radliyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidak ada seorang pun yang mendengarku dari umat ini, baik yahudi maupun nashrani kemudian mati dan dia tidak beriman dengan risalah yang dibawa olehku melainkan dia termasuk dari penghuni neraka.” (HR. Muslim 2:186)

Ketiga, bahwa panggilan kepada mereka dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab) telah warid (tercantum) dalam Al Qur’an dalam konteks celaan terhadap mereka. Konteks celaan terhadap ahli kitab yang memakai lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab), misalnya :“Hai ahli kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya).” (QS. Ali Imran : 70)

Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?” (QS. Ali Imran : 71)

Keempat, apakah pemahaman Qaradhawi bahwa mencintai ahli kitab atas dasar panggilan Allah wahai ahli kitab ini sesuai dengan pemahaman para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka (para shahabat)? Ternyata tidak! Kalau begitu, di manakah posisi Qaradhawi dari kitab-kitab ulama?

“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (QS. Al Baqarah : 111)

“Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami.” (QS. Al An’am : 148)

Katakanlah : “Tuhanku hanya mengaharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raf : 33)

Syubhat Keempat :

Qaradhawi berkata dalam kitabnya Ghairul Muslimiin fil ‘Aalamil Islami halaman 68 :Sesungguhnya Islam membolehkan setiap umatnya untuk menikah dengan ahli kitab (yahudi dan nashrani). Kehidupan suami istri harus dibangun di atas sakinah, mawaddah, dan rahmah (ketenangan jiwa, rasa cinta, dan menyayangi),sebagaimana yang ditunjukkan oleh Al Qur’an:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.” (QS. Ar Rum : 21)

Ini menunjukkan bahwa mahabbah (rasa cinta) seorang Muslim terhadap non Muslim itu tidak apa-apa (tidak berdosa)( Lihatlah, wahai saudaraku! Dalam ungkapan ini secara terang-terangan Qaradhawi berdakwah (menyeru) agar seorang Muslim mencintai orang kafir.) . Bagaimana mungkin seorang suami tidak mencintai seorang istrinya yang dari ahli kitab? Bagaimana mungkin seorang anak tidak mencintai kakek dan nenek serta bibinya bila ibunya seorang kafir dzimmi?

Istidlal (pengambilan dalil) yang dilakukan oleh Qaradhawi ini jelas sangat bathil dengan beberapa alasan sebagai berikut.

Pertama, bahwa para Salaf ridlwanullah ‘alaihim tidak ada yang menjadikan bolehnya seorang Muslim menikahi wanita ahli kitab sebagai dalil untuk mencintai dan menyayangi ahli kitab. Mereka (Salaf) adalah umat yang paling mengetahui istidlal Al Qur’an setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bahkan tidak ada Imam dan Ahli Fikih yang perkataannya sependapat Qaradhawi ini.

Kedua, bahwa cinta ada dua macam (cinta tabiat dan cinta syar’i). Cinta tabiat adalah rasa cinta yang sudah menjadi tabiat manusia, seperti cinta kepada ayah, anak, saudara, istri, kakek, dan seterusnya. Cinta semacam ini ada pada setiap manusia, baik Mukmin ataupun kafir yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Cinta tabiat ini telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Qur’an karena hal itu dialami oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada pamannya :

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al Qashash : 56)

Kecintaan Rasulullah kepada pamannya ini tidak disyariatkan tapi tabiat asli manusia.Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan :

“Dhahir ayat ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi’ ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mencintai Abu Thalib, pamannya. Bagaimana menafsirkan ayat ini? Jawabannya ada beberapa kemungkinan :

Pertama, beliau mencintai Abu Thalib yakni menginginkan hidayahnya.
Kedua, cinta beliau kepada pamannya itu adalah cinta thabi’i (tabiat manusiawi), seperti cinta anak kepada bapaknya walaupun dia kafir.
Ketiga, cinta Nabi kepada pamannya yang kafir itu terjadi sebelum turunnya larangan mencintai orang kafir.

Dari ketiga penafsiran tersebut yang paling mendekati kebenaran adalah yang pertama, yaitu mencintai hidayahnya bukan perasaannya. Hal ini berlaku umum bagi Abu Thalib dan lainnya dan bisa jadi kecintaan di sini cinta tabiat dan yang demikian tidak bertentangan dengan cinta yang syar’i. (Al Qaulul Mufiid Syarh Kitaabit Tauhid 1:349)

Pembagian rasa cinta menjadi cinta tabiat dan cinta syar’i ini diperkuat oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim pada hadits Anas radliyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak beriman (dengan sempurna) salah seorang dari kalian hingga saya menjadi orang yang lebih dicintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.”

Imam Nawawi berkata :

Imam Abu Sulaiman Al Khaththabi berkata : “Dalam hadits tersebut Rasulullah tidak menghendaki rasa cinta yang bersifat tabiat namun beliau menghendaki rasa cinta yang bisa memilih. Karena seseorang mencintai dirinya adalah cinta tabiat dan hal itu tidak ada jalan untuk menolaknya.”

Ibnu Baththal, Qadhi `Iyadh, dan ulama lainnya menjelaskan : “Rasa cinta ada tiga macam, yaitu cinta penghormatan dan pengagungan, seperti cintanya seorang anak kepada ayahnya, cinta karena kasih sayang, seperti mencintai anak, dan cinta karena kecocokan dan kesenangan, seperti cintanya kepada seluruh manusia. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengumpulkan berbagai macam cinta dalam dirinya.” (Syarah Muslim halaman 15 hadits 18/19. Lihat Fathul Baari I hadits 14/15 bab VIII)

Para ulama banyak yang membahas masalah cinta daan macam-macamnya dalam kitab-kitab mereka. Untuk menambah ilmu bacalah kitab-kitab mereka.

Ketiga, ulama yang membolehkan pernikahan seorang Muslim dengan wanita ahli kitab tetap mengharamkan mencintai orang-orang non Muslim. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah : 22)

Ayat-ayat yang senada dengan ayat ini banyak sekali dan sebagian telah penulis sebutkan. Akan tetapi hawa nafsu telah memalingkan Qaradhawi dari ayat-ayat ini. Dia lebih tertarik dengan syubhat-syubhat yang lemah, bahkan lebih lemah dari sarang laba-laba.

Keempat, kalaulah kita terima pendapat Qaradhawi bahwa rasa cinta yang ada di antara seorang Muslim dengan istrinya dari ahli kitab adalah cinta yang syar’i maka dalil dari ayat tersebut menjadi khusus bagi seorang Muslim bersama istrinya saja. Ini hanya sekedar pengandaian saja. Akan tetapi dalil tersebut bersifat umum yang menuntut haramnya rasa cinta syar’i kepada orang-orang kafir semuanya.

Kelima, Allah membolehkan seorang Muslim menikah dengan wanita ahli kitab tujuannya agar pernikahan itu bisa menyebabkan pihak wanita mendapat hidayah karena berbagai kelebihan yang Allah berikan kepada lelaki dibandingkan wanitanya, seperti kesempurnaan akal dan kemampuan untuk mempengaruhi dan lain sebagainya.

Islam mengharamkan pernikahan wanita Muslimah dengan pria ahli kitab supaya hal itu tidak menyebabkan kepatuhan kepada pria non Muslim dan kemudian meninggalkan agamanya.

Selanjutnya, jika pembaca mengkritisi ucapan Qaradhawi lebih teliti lagi maka akan pembaca ketahui bahwa dia tidak membatasi kecintaan hanya kepada ahli kitab saja. Bahkan dia mengglobalkan kecintaannya kepada semua orang kafir. Inilah kutipan ucapannya :Hal ini menunjukkan bahwa mahabbah (rasa cinta) seorang Muslim terhadap non Muslim itu tidak apa-apa (tidak berdosa). (Ghairul Muslimiin fil ‘Aalamil Islami halaman 68)Perhatikan wahai saudaraku, ungkapan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Qaradhawi membawa pemikiran yang busuk dan bathil untuk mengkaburkan Al Wala’ wal Bara’ yang itu merupakan salah satu pokok aqidah Islam.

Syubhat Kelima :

Dalam kitab Al Halaal wal Haraam pada halaman 327, Qaradhawi mengatakan :Jika seorang Muslim berdebat dengan ahli kitab maka hindarilah perdebatan yang bisa menyinggung perasaan dan menimbulkan permusuhan. Allah berfirman : “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang paling baik.” (QS. Al Ankabut : 46)

Istidlal (pengambilan dalil) ini pun jauh dari kebenaran karena mengikuti hawa nafsu dalam menghukumi firman Allah ini. Sebagai bantahannya kami kemukakan beberapa poin :Pertama, para mufasir berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat tersebut. Tapi, tak satu pun mufassir yang mendukung pendapat Qaradhawi. Di antara pendapat tersebut adalah :
1. Bahwa ayat tersebut sudah mansukh (dihapus) dengan ayat saif (perintah perang). Ini adalah pendapat Mujahid (Seperti yang tercantum dalam Tafsir Al Qurthubi, Ath Thabari, serta yang lainnya)dan Ibnu ‘Athiyah Al Andalusi (Al Muharrir Al Wajiiz Fi Tafsiiril Kitaabil Aziiz, XII:229.) . Pendapat para mufassir ini menutup hujjah bagi Qaradhawi untuk membela diri.

2. Makna berdebat dengan ahli kitab melalui cara terbaik adalah mendoakan mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla (agar mereka mendapat hidayah) dan menyampaikan argumen, ayat-ayat, dan bukti-bukti dengan harapan mereka mau menyambut Islam dan hijrah ke dalamnya. Berinteraksi kepada mereka harus dengan cara dan ucapan yang lembut saat mengajaknya kepada kebenaran serta menolak kebathilan dengan cara yang paling mudah untuk sampai kepada hal itu.

3. Ada yang mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah janganlah kalian mendebat orang-orang yang beriman kepada Muhammad dari kalangan ahli kitab, seperti Abdullah bin Salam dan semua yang beriman kepadanya, kecuali dengan cara yang terbaik. Menurut pendapat yang kedua, ayat tersebut termasuk muhkamat (ayat-ayat yang jelas). Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir rahimahullah.

Walaupun ayat tersebut muhkamat namun tidak ada kaitannya dengan pendapat Qaradhawi karena dia menjadikan ayat billatii hiya ahsan (dengan cara yang paling baik) sebagai dalil untuk menghindari hal yang menyinggung perasaan dan menimbulkan permusuhan. Bahkan dari ayat inilah Qaradhawi mensyariatkan perintah untuk mencintai yahudi dan nashrani.

Mungkin dia pura-pura tidak tahu tentang maksud ayat billatii hiya ahsan, yakni jalan yang dibangun di atas ilmu dan argumen serta burhan (bukti) yang jelas, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl : 125)

Berdebat dengan ahli kitab atau dengan para pelaku kebathilan dengan tujuan agar mereka mau menerima petunjuk kebenaran dan mengembalikan mereka dari kebathilan tidak menuntut adanya rasa cinta kepada pelaku kebathilan dan kesesatan. Jika tidak dipahami demikian maka harus dikatakan bahwa Musa dan Harun diperintah untuk mencintai Fir’aun ketika Allah berfirman kepada keduanya :

“Maka ucapkanlah kepadanya ucapan yang lembut.” (QS. Thaha : 44)

Karena ucapan yang lemah lembut adalah ucapan baik yang didasari dengan ilmu, argumen, dan hikmah.

Kalimat billatii hiya ahsan (dengan cara yang paling baik) mempunyai beberapa makna, di antaranya :

1. Tiada Dzat yang berhak diibadahi selain Allah. Pendapat ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu.
2. Menahan diri dari (memerangi) mereka setelah mereka memberikan jizyah (pajak). Pengertian ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Zaadul Masiir.
3. Cara yang terbaik adalah dengan Al Qur’an.

Kedua, sesungguhnya berdebat dengan ahli kitab melalui cara terbaik merupakan sebab agar mereka mau menerima Islam. Hal ini jauh dari sikap keras terhadap mereka yang bisa menyebabkan mereka mencela Islam dan orang yang membawanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am : 108)

Saudara pembaca yang budiman, setelah mengetahui pendapat para mufassir tentang ayat yang dikaburkan oleh Qaradhawi, jelaslah bagi kita bahwa tak seorang pun dari kalangan Salafusshalih dan pengikut baik mereka yang sejalan dengan pemikiran Qaradhawi.

Setelah memaparkan berbagai syubhat dan talbis (pemutarbalikan) kebenaran kepada kaum Muslimin, Qaradhawi berusaha mendekatkan kaum Muslimin dengan umat Nashrani. Ia berkata :

Hal ini berlaku untuk ahli kitab secara umum. Sedangkan untuk orang nashara, secara khusus dalam Al Qur’an Allah telah menempatkan mereka pada suatu posisi yang dekat dengan kaum Muslimin. Allah berfirman : “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata :

Sesungguhnya kami ini orang nashrani’. Yang demikian ini disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang nashrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. Al Maidah : 82) [Al Halaal wal Haraam halaman 328]

Syubhat Qaradhawi tersebut bisa penulis luruskan dengan beberapa bantahan berikut :

Pertama, ayat yang dikutip Qaradhawi itu mengabarkan bahwa nashara adalah orang-orang yang mencintai kaum Muslimin karena mereka mengetahui bahwa apa yang ada pada kaum Muslimin adalah kebenaran. Apakah hal ini mengharuskan seorang Muslim untuk mencintai mereka yang telah mengkultuskan salib, mempertuhankan Nabi Isa, meyakini doktrin bahwa Al Masih adalah anak Allah, serta kesyirikan dan kekufuran besar lainnya. Subhanallah! Ini adalah kedustaan yang besar.

Kedua, ayat tersebut turun kepada Najasyi yang masuk Islam bersama para shahabatnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim Ar Razi (Shahiihul Musnad Min Asbaabin Nuzuul halaman 99)

Ketiga, ayat ini mengisyaratkan kepada keimanan dan keislaman orang yang disebutkan dalam ayat berikutnya :

“Ya Tuhan kami, kami telah beriman maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).

”Keempat, berbagai kemenangan yang diraih umat Islam di berbagai belahan negeri nashara tidak menunjukkan kedekatan hati antara umat nashara dan kaum Muslimin. Justru hal itu menunjukkan adanya kebencian dan permusuhan yang luar biasa kepada mereka.

Para pembaca yang budiman, jelaslah bagi kita bagaimana sikap pembelaan Yusuf Al Qaradhawi terhadap musuh-musuh Allah ‘Azza wa Jalla.

Penulis: Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini

Wednesday, May 13, 2009

Kesesatan Qaradhawi - Menghalalkan yang Haram

Membolehkan Penjualan Sebagian Barang-Barang Haram

Majalah Al Mujtama’ memberitakan bahwa organisasi-organisasi Islam di Prancis mengadakan seminar fiqih pada tanggal 19 Juli 1997 di Paris yang dihadiri oleh Yusuf Al Qaradhawi, Dr. ‘Isham Al Basyir, dan sebagainya. Disebutkan pula bahwa tujuan seminar fiqih ini adalah menjawab persoalan-persoalan fiqhiyah yang dilontarkan oleh kaum Muslimin di negeri tersebut. Lalu sang wartawan ini menceritakan tentang seminar tersebut.

Dia menulis :
Adapun tentang (sebagian) penjualan barang-barang haram maka ia (Qaradhawi) telah membolehkannya dalam batasan darurat dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. (Majalah Al Mujtama’ nomor 1261, 5 Agustus 1997/Awal Rabi’ul Akhir 1418)

Pembaca yang budiman, lihatlah betapa lancangnya Qaradhawi dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah seperti khamr, babi, dan sebagainya di negeri kafir dengan alasan darurat yang tidak melanggar undang-undang yang berlaku (Jangan heran dengan ajakan Qaradhawi ini. Dia juga mengajak untuk mengikuti Barat, seperti diberitakan Majalah Al Mujtama’ di atas.

Dalam seminar di Paris dia menjawab berbagai masalah fiqhiyah seperti yang dinukil wartawan : “Lalu Qaradhawi menjawab pertanyaan hadirin dengan jawaban bahwa dia membolehkan seorang Muslim tinggal di negeri kafir dan mendapatkan kewarganegaraan kecuali bagi orang yang menginginkan tinggal sekedar untuk mengumpulkan harta tanpa mencari persaudaraan dengan saudara-saudara Muslimnya. Dia menganggap perkara ini adalah keharaman yang paling besar kemudian dia mengajak untuk mentaati peraturan dan undang-undang Barat dan memprioritaskan hak Pemilu yang dianggapnya sebagai satu persaksian : ‘Dan janganlah kalian sembunyikan syahadah kalian.’”) .

Maka di manakah kefakihan sang Faqihul Islam (seperti yang mereka sangka) dalam memahami firman Allah :
Katakanlah : “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raf : 33)

Membolehkan Hadir Dalam Acara Yang Dibagikan Khamr Di Dalamnya Demi Dakwah

Dalam seminar fikih di Paris tersebut, sang wartawan menulis jawaban Qaradhawi :

“Kemudian dia menjawab pertanyaan yang mewakili kebanyakan Muslimin di Barat pada khususnya para pimpinan dan pengurus yayasan bila diundang menghadiri acara-acara yang dibagikan khamr di dalamnya sehingga orang terpaksa duduk di meja tempat orang-orang meminum khamr. Dan demi maslahat dakwah Islamiah, seorang Muslim dituntut untuk tidak absen dari acara-acara seperti itu supaya tidak terkesan mengucilkan diri dari masyarakat. Dan Qaradhawi berpendapat bahwa pada dasarnya pengundang acara-acara ini harus menghormati keyakinan Muslimin dan menjauhkan mereka dari semua yang diharamkan yang dikenal dalam agama mereka namun apabila hal tersebut sulit maka hal-hal yang diharamkan seperti ini kalau dibutuhkan hukumnya dibolehkan.”

Sebagai bantahan atas fatwa yang menyesatkan ini, aku berkata :

Pertama, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah ia duduk di atas hidangan tempat minum khamr.” (HR. Ahmad dari Umar bin Khaththab, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Irwaa’ul Ghaliil hadits nomor 1949)
Jelaslah bahwa hadits tersebut membantah dengan tegas terhadap fatwa orang yang dianggap Faqihul Islam ini.
Kedua, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan sifat-sifat hamba-Nya di antaranya tidak menghadiri majelis-majelis batil yang disebut az zuur.
Allah telah menyebutkan dalam surat Al Furqan tentang sifat-sifat ibadurrahman (hamba-hamba Allah) dalam firman-Nya :

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqan : 72)

Terhadap ayat tersebut, Malik berkata dari Az Zuhri : “Dalam pertemuan yang di dalamnya ada acara minum khamr, mereka tidak menghadiri dan tidak menyukainya.”

Muhammad bin Al Hanafiah berkata : “Az Zuur adalah laghwun dan nyanyian.”

Az Zajaji menjelaskan : “Mereka tidak duduk menemani para pelaku maksiat, tidak mendukung mereka, dan mereka berlalu sebagai orang-orang terhormat. Mereka tidak meridhai hal-hal yang tidak berfaedah karena mereka menghormati diri mereka untuk mencampuri hal tersebut dan bergaul dengan orang-orangnya.

”Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan : “Maksudnya, mereka tidak menghadiri majelis-majelis batil. Apabila mereka melewati apa yang tidak berfaedah, baik kata-kata atau perbuatan, mereka menjaga diri mereka dari menemani dan cenderung kepadanya. Dan termasuk di dalamnya adalah hari-hari besar orang-orang musyrik --sebagaimana para Salaf menafsirkannya--, nyanyian, dan segala macam kebatilan.”

”Beliau juga menjelaskan : “Az Zuur diartikan dengan perkataan dan perbuatan yang batil.” (Ighaatsatul Lahafan I:241-242

Asy Syaukani berbicara tentang arti Az Zuur dalam kitabnya Fathul Qadiir juz III:89 lalu dia menyebut pendapat-pendapat para ulama kemudian berkata : “Dan yang paling utama adalah tidak mengkhususkan dengan salah satu jenis dari jenis-jenis az zuur, akan tetapi yang dimaksud adalah mereka tidak menghadiri semua hal yang termasuk Az Zuur apapun dan bagaimanapun.

”Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam Tafsir Al Karimi Ar Rahman mengatakan : “Mereka tidak menghadiri Az Zuur, baik perkataan, perbuatan yang haram, dan mereka menjauhi semua majelis yang mencakup perkataan-perkataan haram dan perbuatan-perbuatan haram seperti terlalu mempermasalahkan ayat-ayat Allah, perdebatan yang batil, ghibah, adu domba, mencela, menuduh zina, mengolok-olok, dan nyanyian yang diharamkan, meminum khamr dan menggelar sutera, gambar-gambar, dan sebagainya.

Ketiga, As Salaf radliyallahu 'anhum menjauhi majelis-majelis batil dan jahat. Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr diriwayatkan bahwa seorang laki-laki membuat makanan dan mengundangnya. Maka dia berkata : “Apakah di dalam rumah terdapat gambar-gambar?” Dia menjawab : “Ya!” Maka beliau menolak datang hingga gambar-gambar tersebut dihancurkan lalu beliau masuk.Imam Al Auza’i berkata : “Kami tidak memasuki pesta yang terdapat kebatilan dan alat-alat musik.

”Pembaca yang budiman, dengan penjelasan para Salaf tersebut, jelaslah bagi kita bahwa Qaradhawi tidak merujuk kepada dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Dia semata-mata berfatwa dan berjalan seiring dengan apa yang dianggap baik oleh hawa nafsunya. Apakah maslahat yang dapat diambil dari menghadiri majelis-majelis yang melanggar hal-hal yang diharamkan Allah? Apakah sudah tidak ada lagi tempat untuk berdakwah?

Menghalalkan Sembelihan Orang Kafir Selain Ahli Kitab

Ketika mengunjungi Malaysia dan Jepang, Qaradhawi bertemu dengan wartawan dari Harian Asy Syarq lalu diadakanlah wawancara yang difokuskan pada fatwa seputar makanan dan sembelihan. Ditanyakan bagaimana menyikapi masakan dan makanan orang Jepang yang bukan Ahli Kitab? Qaradhawi menjawab :Sebenarnya ketika mengunjungi Jepang pada masa-masa sebelum ini, aku bersikap sangat keras. Tapi kali ini aku tidak mementingkannya dalam beberapa hal. Maka aku berkata pada mereka, tatkala Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ditanya tentang orang Majusi, beliau bersabda :“Perlakukan mereka seperti sunnahnya Ahli Kitab.

”Majusi adalah bangsa yang mengatakan ada dua Tuhan yaitu Tuhan untuk cahaya dan kebaikan serta Tuhan untuk kejahatan dan kegelapan. Dan mereka juga menyembah api.

Oleh karena itu, Syaikh Rasyid Ridha berpendapat dalam Tafsir Al Manaar bahwa orang-orang Budha dan yang lainnya dari pengikut agamaagama orang Timur, mereka harus diperlakukan seperti para Majusi yaitu perlakuan sama seperti Ahli Kitab apabila mereka kita anggap seperti orang Majusi. Dan hadits tadi mempunyai riwayat lain walaupun dhaif (lemah) yaitu :

“Tidak boleh dinikahi para wanitanya dan tidak boleh dimakan sembelihan mereka.”Adapun berkaitan dengan larangan menikahi para wanitanya, ini adalah shahih karena Al Qur’an mengatakan :

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.” (QS. Al Baqarah : 221)

Akan tetapi tentang sembelihan mereka, ini yang tidak benar. Dan aku katakan, apabila benar mereka menyembelih maka tidak ada halangan apabila kita memakan sembelihan mereka. Dalam beberapa negara dikatakan, sesungguhnya tersedia daging halal yang disembelih oleh tangan orang Islam dengan cara yang syar’i dan disebut asma Allah. Dan begitulah hingga daging tersebut lebih murah daripada daging biasa. Maka alasan apa yang mendorong kita dalam keadaan seperti ini tidak lain hanyalah kadang-kadang terdapat seorang atau dua orang mahasiswa di sebuah negeri di mana mereka tidak mendapatkan orang yang menjual daging halal. Menetap beberapa tahun di negeri perantauan tanpa memakan daging adalah satu hal yang memberatkan. Maka bisa saja dalam keadaan seperti ini dia mengambil rukhshah (keringanan) akan tetapi aku memberikan syarat agar daging tersebut disembelih. Dan penyembelihan syar’i bukanlah harus menggunakan pisau dan melakukan begini-begitu akan tetapi penyembelihan yang memotong leher. (Harian Asy Syarq, 9 Muharram 1418 H/16 Mei 1997 M)

Aku berkata, sesungguhnya Qaradhawi dalam fatwanya yang menghalalkan sembelihan selain Ahli Kitab ini dilakukan atas dasar hal-hal sebagai berikut :

1. Pengalihan dari tingkatan tasyadud (keras) menjadi tingkatan tasahul (meremehkan).

2. Pengkiasan watsaniy (para penyembah berhala) dan orang-orang musyrik kepada Majusi atas dasar hadits :

“Perlakukan mereka seperti sunnahnya Ahli Kitab.”

Dan fatwa Rasyid Ridha tentang dibolehkannya sembelihan orang Budha dan lainnya dari para penganut agama-agama Timur.

3. Menetapnya para pelajar dalam delegasi pelajar bertahun-tahun tanpa makan daging adalah bukan hal yang mudah menurut Qaradhawi

Poin pertama, perkataan Qaradhawi :

“Sebenarnya ketika mengunjungi Jepang pada masa-masa sebelum ini, aku bersikap sangat keras. Tapi kali ini aku tidak mementingkannya dalam beberapa hal.

”Mungkin saja dengan perkataan itu dia ingin agar kebanyakan manusia ridha --walaupun dengan mengorbankan agama-- lalu memperbolehkan memakan sembelihan orang kafir dan musyrik selain Ahli Kitab hingga tidak terkesan di hadapan manusia bahwa dia berpendapat keras.

Allah telah berfirman :

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An Nahl : 116)

Poin kedua, tentang pengkiasan seluruh orang musyrik dengan Majusi maka aku berkata kepada Qaradhawi, sebelumnya kuatkanlah singgasanamu lalu ukirlah baik-baik (pikirkan dulu baru bicara).

Hadits : “Perlakukanlah mereka seperti sunnahnya Ahli Kitab.”Yang kamu jadikan sebagai dalil adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ kitab Zakat bab 24 hadits 42. Ia mengatakan :

Dari Ja’far bin Muhammad bin Ali dari ayahnya bahwa Umar bin Khaththab menyebutkan tentang orang Majusi lalu ia berkata :

“Aku tidak mengetahui bagaimana yang harus aku perbuat dalam urusan mereka.”

Maka Abdurrahman bin Auf berkata : “Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

‘Perlakukanlah mereka seperti sunnahnya Ahli Kitab.’

”Hadits tersebut dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf juz I halaman 325 hadits nomor 1925, Abdurazzaq dalam Al Mushannaf kitab ke-8 bab 144 hadits nomor 2.

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah :

“Hadits ini munqathi’ (terputus sanadnya) karena Muhammad bin Ali tidak bertemu Umar ataupun Abdurrahman.” (At Talkhiis Al Habiir III:172)

Al Hafizh Ibnu Katsir berkata : “Hadits tersebut tidak benar diriwayatkan dengan lafal ini.” (Tafsiir Ibnu Katsiir dalam surat Al Ma’idah ayat 5 dan didhaifkan pula oleh Al Albani dalam Irwaa’ul Ghaliil 1248)

Seandainya hadits ini shahih maka keumumannya gugur karena telah dikhususkan dengan mafhum ayat ini sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Katsir : “Seandainya diterima keshahihan hadits ini maka keumumannya dikhususkan dengan mafhum ayat :

‘Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al Kitab itu halal bagimu.

’Artinya bahwa makanan orang selain Ahli Kitab dari para penganut agama lain adalah tidak halal.” (Tafsiir Ibnu Katsiir surat Al Ma’idah ayat 5)

Adapun hadits ghairu naakihii Nisaa’ihim walaa aakilii dzabaa’ihihim (tidak boleh dinikahi para wanitanya dan tidak boleh dimakan sembelihan mereka), Qaradhawi menyangka bahwa baris pertama dari pengecualian ini adalah shahih (tidak dinikahi para wanitanya) dan baris kedua (dan tidak boleh dimakan sembelihannya) adalah dhaif. Maka aku tidak mengerti bagaimana Qaradhawi menshahihkan baris yang pertama dan mendhaifkan baris yang kedua padahal para muhaddits telah menghukumi bahwa kedua baris hadits tersebut adalah sama-sama dhaif karena dalam sanadnya terdapat Qais bin Ar Rabi’, seorang yang dhaif ditambah lagi hadits ini mursal. Hal ini disebutkan oleh Al Hafizh dalam At Talkhiish Al Habiir III:172.

Memang, orang yang berbicara dalam sesuatu yang bukan bidangnya akan menghasilkan hal-hal yang aneh. Selain hadits tersebut dhaif dan tidak tsabit juga telah terjadi ijma’ atas diharamkannya sembelihan orang Majusi.

Ibnu Abdil Barr berkata : “Sesungguhnya para ulama Islam telah bersepakat bahwa orang Majusi tidak diperlakukan seperti sunnahnya Ahli Kitab dalam menikahi wanitanya dan hukum sembelihannya.” (At Tamhiid II:116)

Ibnu Qudamah Al Maqdisy berkata : “Para ahlul ilmi telah bersepakat atas haramnya binatang buruan dan sembelihan orang Majusi kecuali hewan yang tidak disembelih seperti ikan dan belalang karena mereka sepakat membolehkannya.” Beliau juga berkata : “Dan hukum seluruh orang kafir dari para penyembah berhala, para zindiq, dan lainnya sama seperti haramnya sembelihan dan binatang buruan orang Majusi kecuali ikan dan belalang dan seluruh binatang yang halal bangkainya.” (Al Mughnii VIII:570-571)

Al Qurthubi menjelaskan : “Adapun Majusi, maka para ulama --kecuali yang menyendiri dalam pendapatnya-- bersepakat bahwa sembelihan dan binatang-binatang buruan mereka tidak boleh dimakan dan wanita mereka tidak boleh dinikahi. Karena mereka bukan Ahli Kitab.” (Al Jaami’ li Ahkaamil Qur’aan VI:77-78)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “Adapun orang-orang Majusi yang telah kami sebutkan pembicaraan tentang mereka didasarkan oleh dua hal, salah satunya bahwa sembelihan-sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan wanitanya tidak boleh dinikahi.” Kemudian Syaikh mengatakan bahwa orang-orang Majusi bukanlah Ahli Kitab dengan memberikan alasan dan dalil-dalil. Rujuklah perkataannya tentang masalah haramnya sembelihan orang-orang Majusi dari Majmuu’ Fataawaa jilid ke-32 halaman 187-190.

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Adapun orang Majusi, walaupun kepada mereka dikenakan jizyah (upeti) sebagaimana yang dikenakan kepada Ahli Kitab akan tetapi sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan wanita mereka tidak boleh dinikahi.” (Tafsiir Ibnu Katsiir dalam ayat yang dimaksud)

Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Sembelihan Majusi adalah haram bagi kita dan ini pendapat jumhur ulama.” (Majmuu’ Syarh Muhadzdzab IX:79)

Imam Syaukani menafsirkan ayat : “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al Kitab itu halal bagimu.” Beliau berkata : “Yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Sedangkan Majusi, jumhur ulama berpendapat bahwa sembelihan-sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan para wanitanya tidak boleh dinikahi karena Majusi bukanlah Ahli Kitab. Ini adalah yang masyhur di kalangan ahlul ilmi.” (Fathul Qadiir II:14)

Pembaca yang budiman, kita sudah mengetahui tentang dhaifnya hadits yang dijadikan dalil oleh Qaradhawi untuk menghalalkan sembelihan orang Majusi dan orang kafir selain Ahli Kitab. Telah jelas pula bagi kita tentang ijma’ dan fatwa ulama atas diharamkannya sembelihan-sembelihan orang Majusi dan orang-orang kafir selain Ahli Kitab. Maka jelaslah bagi kita bahwa Qaradhawi hanya ingin membela fatwanya sendiri yang batil atas dibolehkannya memakan sembelihan orang kafir dan musyrik selain Ahli Kitab. Qaradhawi mengkiaskan fatwanya kepada bolehnya memakan sembelihan orang kafir Majusi padahal disebutkan haramnya sembelihan-sembelihan orang Majusi. Bagaimana bisa mengkiaskan satu hukum kepada sumber yang batil? Tak dapat disangkal lagi bahwa Qaradhawi berusaha merombak berbagai panji-panji agama dengan berkedok wasithiyah (agama moderat) dan mempermudah serta tidak fundamentalis.

Adapun pengecualiannya terhadap pendapat Muhammad Rasyid Ridha yang membolehkan sembelihan orang Budha dan agama-agama Timur penyembah berhala lainnya maka patut dipertanyakan padanya, siapakah Muhammad Rasyid Ridha jika dibandingkan dengan para imam Muslimin yang telah sepakat tentang haramnya sembelihan Majusi dan orang kafir selain Ahli Kitab? Para ulama dan ahli fikih telah membantah orang-orang yang lebih utama dari Muhammad Rasyid Ridha, Qaradhawi, dan ahlul ahwa lainnya seperti Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid, seorang imam ahli fikih yang berpendapat tentang halalnya sembelihan orang Majusi.

Tatkala menyebutkan keganjilan pendapat Abu Tsaur dalam masalah ini, Al Hafizh Ibnu Katsir berkata : “Setelah ia (Abu Tsaur) mengatakan tentang halalnya sembelihan orang Majusi dan populerlah pendapat ini maka para fuqaha mengingkarinya. Sampai-sampai Imam Ahmad mengatakan bahwa dalam hal ini dia seperti namanya yaitu Abu Tsaur (Abu Tsaur berarti : Bapaknya sapi, penterj.).” (Tafsiir Ibnu Katsiir II:21)

Poin ketiga, perkataan Qaradhawi tentang keberadaan sebagian mahasiswa di negeri kafir yang bukan Ahli Kitab dan ketidaksabaran mereka untuk tidak makan daging sementara waktu, tidak menjadikan hal yang haram menjadi halal.

Menghalalkan Produk Yang Mengandung Daging, Lemak, Dan Tulang Babi Yang Sudah Diproses Secara Kimia

Dalam sebuah harian, Yusuf Al Qaradhawi mengatakan :

Masalah babi dan apa saja yang berasal dari babi bila diproses secara kimia maka aku katakan apabila barang najis yang telah diproses secara kimia maka ia telah berubah. Dan sesuatu yang najis apabila telah berubah maka menjadi suci.

Para ahli fikih mengatakan : “Sesuatu yang telah berubah sebagai contoh kulit apabila dibakar dengan api dan berubah menjadi debu menjadi sangat suci.” Khamr yang aslinya adalah anggur tatkala berubah menjadi cuka menjadi suci dan hukumnya sama dengan cuka lainnya. Ulama mengatakan : “Kalau ada seekor anjing jatuh di tambang garam dan melebur dengan garam, dia tidak lagi dihukumi anjing.”

Menurutku, terdapat persamaan dalam hal ini. Mereka mengatakan gelatin berasal dari tulang akan tetapi diproses secara kimia hingga hilang asalnya. Begitu pula dengan pasta gigi dan sabun. Barang-barang ini telah melalui proses kimia secara benar (sehat) dan bisa jadi asalnya dari tulang babi dan lainnya. Dan ini tidak membahayakan. (Harian Asy Syarq Ash Shadiran, 9 Muharram 1418 H/15 Mei 1997 M)

Saudara pembaca yang budiman, untuk menjelaskan kebatilan perkataan Qaradhawi ini, penulis memiliki beberapa bantahan :

Pertama, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkan daging dan lemak babi bagi orang Islam dengan firman-Nya :

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al Baqarah : 173)

Ketika menjelaskan makna wa lahmul khinziir (dan daging babi) dalam surat Al Ma’idah ayat 3, Imam Al Qurthubi rahimahullah mengatakan : “Allah mengkhususkan daging dari babi untuk menunjukkan diharamkannya zat babi itu, baik disembelih atau tidak dan ini mencakup lemaknya.” Beliau juga mengatakan : “Umat telah bersepakat atas diharamkannya lemak babi.” (Ahkaamul Qur’aan II:222)

Sedangkan Al Hafizh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini :

“Dan firman Allah wa lahmul khinziir yaitu baik yang jinak (piaraan) maupun yang liar dan daging mencakup semua bagiannya termasuk lemaknya.”Kedua, apabila diketahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkan babi, lemak, dan minyaknya maka wajib bagi setiap Muslim untuk menerima syariat-Nya dengan menjauhi babi, lemak, dan minyaknya. Dan hendaknya tidak menempuh cara-cara Ahli Kitab dalam berdalih untuk menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharamkan lemak (gajih) kepada mereka maka mereka menggunakan berbagai dalih dan cara untuk mengotak-atik syariat Allah. Mereka mencairkan lemak babi lalu menjualnya dan memakan uang hasil penjualannya.

Hadits dari Umar radliyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :“Allah melaknat orang Yahudi dan mengharamkan lemak bagi mereka maka mereka mencairkannya lalu menjualnya.” (Muttafaq Alaih)

Dan dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Allah telah melaknat Yahudi tiga kali. Sesungguhnya Allah mengharamkan lemak babi atas mereka maka mereka menjualnya dan memakan hasil penjualannya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan mengharamkan kepada suatu kaum untuk memakan sesuatu kecuali pastilah Dia mengharamkan penjualannya.

”Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah memperingatkan kita agar menghindari dari cara-cara yang ditempuh Yahudi. Beliau bersabda :

“Jangan engkau berbuat seperti perbuatan orang Yahudi, mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah dengan tipuan yang paling hina (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Bathah dalam Tafsiir Ibnu Katsir pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Dan tanyakanlah kepada Bani lsrail tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka.”

Ia berkata : “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Muslim, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shibah Az Za’farani, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda ... .”

Hadits ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmuu’ Fataawaa juz 29 halaman 29 ketika berbicara tentang larangan al hiyal (membuat muslihat). Beliau berkata : “Ibnu Bathah telah meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Abu Hurairah.” Lalu beliau membacakan ayat tersebut. Ibnu Katsir berkata setelah menyebut sanad hadits tersebut : “Sanad ini baik karena Ahmad bin Muhammad bin Muslim ini disebutkan oleh Al Khathib dalam Tarikh-nya dan ditsiqahkan oleh para perawi lainnya yang sudah masyhur ketsiqahannya dan Tirmidzi sering menshahihkan sanad seperti ini.”) .”

Ketiga, Qaradhawi memusatkan fatwanya yang sesat pada proses kimia untuk membolehkan hasil produk yang tercampur dengan daging, minyak, atau tulang babi. Dalam hal ini telah terjadi perbedaan diantara para imam dan ahli fikih. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tetap haram tidak menjadikan suci dan halal. Namun ada pula yang menyatakan suci dan halal setelah berproses menjadi zat lain. Itu pun dengan syarat apabila berubah secara alamiah (dari Allah) tetapi jika diproses oleh manusia dan berubah menjadi zat yang lain maka mereka tidak membolehkannya. Hal ini berdasarkan atas larangan Nabi kepada para shahabatnya untuk merubah khamr menjadi cuka sebagaimana tersebut dalam hadits Anas yang akan kami sebutkan mendatang.

Keempat, anggaplah apa yang dikatakannya benar --padahal hal tersebut tidak boleh sebagaimana telah disebutkan-- yaitu bahwa najis yang telah berubah menjadi zat lain karena proses yang dilakukan oleh manusia adalah halal, kita tidak mengetahui apakah daging, tulang, dan lemak babi dalam produksi itu digunakan sebelum diproses atau sesudah diproses?Dan saya menganggap mustahil yang digunakan itu adalah zat babi yang telah diproses dengan alasan sebagai berikut :

i. Ketidaktahuan kita akan proses tersebut dari orang yang tsiqah (terpercaya).

ii. Orang-orang Kristen di Barat selalu memasang label halal untuk makanan yang bebas babi dan label haram untuk makanan yang mengandung babi.

Hal ini menunjukkan bahwa mereka memang menggunakan daging, tulang, dan lemak babi dalam produk tanpa dirubah terlebih dahulu.

iii. Mereka (orang Kristen) mempergunakan daging, tulang, dan lemak babi dalam beberapa produksi untuk tujuan tertentu, seperti penyedap rasa dan memperhalus/memperlembut beberapa produk pembersih dan pasta dan tujuan yang dikenal di kalangan mereka

Dan sudah dimaklumi bahwa daging, lemak, dan tulang babi apabila diproses sudah pasti berubah menjadi zat lain. Kalau tidak, bukan proses perubahan namanya dan tidak ada manfaatnya.

Kelima, berbagai dalih yang disebutkan oleh Qaradhawi dalam membolehkan dan menggunakan tulang babi, lemak, dan minyaknya untuk sebuah produk adalah rekayasa syaithaniyah untuk menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkan khamr maka ada shahabat yang berusaha untuk memprosesnya dan merubahnya menjadi cuka serupa dengan proses kimia seperti yang didengungkan oleh Qaradhawi. Maka Rasulullah tetap tidak memperbolehkannya. Dalam hadits riwayat Muslim dari Anas radliyallahu 'anhu disebutkan bahwa Rasulullah ditanya tentang khamr apakah bisa digunakan menjadi cuka, beliau menjawab : “Tidak!”

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga melarang memproses dan merubah khamr menjadi cuka meskipun khamr tersebut adalah harta warisan anak yatim yang sedang dibutuhkan. Dalam hadits Anas bin Malik diriwayatkan bahwa Abu Thalhah bertanya kepada Nabi tentang anak yatim yang mewarisi khamr.

Beliau bersabda : “Tumpahkanlah!” Ia menjawab : “Apakah aku tidak boleh menjadikannya cuka?” Beliau menjawab : “Tidak!” (HR. Abu Daud)

Pembaca yang budiman, perhatikanlah larangan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam untuk merubah khamr menjadi cuka dan membuang kemaslahatan khamr tersebut bagi anak-anak yatim. Hal ini menunjukkan larangan menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah. Bahkan Nabi melarang para shahabat yang ingin meminyaki kulit dan mengecat kapal dengan lemak bangkai. Hal ini disebutkan dalam hadits Jabir radliyallahu 'anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda pada tahun Al Fath (Fathu Makkah) ketika itu ia berada di Mekkah :

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah melarang menjual khamr dan bangkai, babi, serta patung-patung.” Seorang shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang lemak-lemak bangkai yang digunakan untuk mengecat kapal, meminyaki kulit, dan minyak lampu?” Rasulullah menjawab : “Tidak boleh, itu haram!” Kemudian beliau bersabda : “Semoga Allah memerangi Yahudi. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas mereka lemak-lemak (bangkai) lalu mereka mencairkan dan menjualnya lalu memakan uang hasil penjualan tersebut.” (HR. Jamaah)

Kalaulah dibolehkan untuk menghalalkan sesuatu yang haram dengan suatu cara pastilah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memberitahukannya kepada para shahabat supaya mereka tidak menyia-nyiakan suatu maslahat atas diri mereka karena mereka membutuhkannya. Bukankah Rasulullah lebih mengasihi umat daripada Qaradhawi sang Faqihul Islam (seperti dugaan mereka)?!

Keenam, tidak ada seorang ulama pun, baik yang dahulu atau sekarang yang fatwanya sesuai dengan pendapat Qaradhawi. Fatwa ulama terdahulu telah penulis nukil sebagiannya. Sedangkan ulama zaman sekarang maka inilah sebagian perkataan mereka :

Telah dilayangkan beberapa pertanyaan kepada Lajnah Ad Daimah yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dan beranggotakan Syaikh Abdullah bin Qu’ud dan Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi.

Pertanyaan : “Bolehkah mempergunakan parfum, deodorant, pasta gigi, es krim, dan shampoo yang mengandung alkohol atau sabun yang mengandung minyak babi?

Apakah khamr itu najis sebagaimana air seni dan daging serta roti yang tercampur minyak atau darah babi walaupun kadarnya rendah sekali? Kami mohon diberi fatwa karena kami ditugaskan belajar di Amerika dan seorang pelajar Amerika Muslim telah memperingatkan kami.

”Jawaban : “Pada asalnya segala sesuatu adalah halal dan suci. Maka tidak seseorang pun yang berhak menghukumi sesuatu itu haram dan najis kecuali dengan dalil syar’i. Kapan saja engkau yakin atau punya dugaan kuat bahwa daging dan roti yang halal bercampur dengan minyak ataupun darah babi maka engkau tidak boleh mengkonsumsinya. Al Qur’an dan As Sunnah serta ijma’ telah menunjukkan atas diharamkannya daging babi. Dan para ulama telah berijma’ bahwa hukum lemak babi sama dengan hukum dagingnya. Adapun bila engkau tidak mengetahuinya maka engkau boleh memakan sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa hukum asal dari segala sesuatu adalah halal hingga terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Fataawaa Islaamiyyah III:44)

Saudara pembaca yang budiman, telah jelaslah bagi kita dalil-dalil dan fatwa ulama tentang haramnya babi, daging, darah, dan lemaknya. Kita tidak boleh menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dengan tipuan karena upaya menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah dengan cara tersebut adalah salah satu perbuatan Yahudi yang dilaknat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Setiap Muslim diwajibkan untuk berhati-hati terhadap menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah dengan berbagai makar dan tipu daya. Dan hendaknya dicamkan bahwa dia tidak akan selamat dari Allah atas segala makarnya, baik perkataan ataupun perbuatan. Ingatlah, Allah memiliki suatu hari di mana akan direndahkan orang-orang besar. Pada hari itu akan dibuka segala rahasia, akan diungkap segala isi hati, yang batil akan terlihat, yang rahasia menjadi terang, yang tertutup akan terbuka, yang tidak diketahui akan terlihat, segala isi hati akan dibongkar sebagaimana dibangkitkan dan dikeluarkannya segala isi kubur. Di sana berlaku hukum Allah berdasarkan tujuan dan niat sebagaimana telah berlaku hukum-Nya di dunia berdasarkan sisi zahir perkataan dan gerakan. Pada hari itu wajah-wajah akan menjadi cerah karena hati-hati mereka yang dipenuhi nasihat dari Allah, Rasul, dan Kitab-Nya dan dihiasi dengan kebajikan, kejujuran, dan keikhlasan kepada Dzat Yang Maha Besar dan Agung. Dan akan menghitam wajah orang-orang yang hatinya penuh dengan tipu daya, dusta, kecurangan, makar, dan rekayasa. Di sana para pendusta akan mengetahui bahwa mereka telah mendustai dirinya sendiri dan mempermainkan agamanya. Mereka tidak membuat makar kecuali hanya kepada dirinya sendiri dan mereka tidak sadar.” (I’laamul Muwaqqi’iin III:214-215)

Maka wajib bagi setiap Muslim untuk berhati-hati dan mewaspadai fatwa sesat dan menyesatkan yang jauh dari dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan manhaj Salaf radliyallahu 'anhum.

Akhirnya saya menyimpulkan bahwa tidak ada yang tersisa bagi Qaradhawi kecuali menghalalkan bagi Muslimin daging anjing, keledai piaraan, kera, kucing, gagak, rajawali, dan seluruh makanan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Berbagai upaya dan makar telah ditempuhnya untuk menghalalkan daging, lemak, dan minyak babi. Sedangkan dalil-dalil yang mengharamkan makanan tersebut ditepisnya dengan cara yang batil!!!

Penulis: Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini

Tuesday, May 5, 2009

Agama Islam Adalah Agama Yang Haq (Benar) Yang Dibawa Oleh Nabi Muhammad

Dengan Islam, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri serta menyempurnakan agama-agama lain untuk para hambaNya. Dengan Islam pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan kenikmatanNya dan meredhai Islam sebagai agama. Agama Islam adalah agama yang benar dan satu-satunya agama yang diterima Allah, kepercayaan selain Islam tidak akan diterima Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Artinya : Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]
Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada seluruh manusia untuk memeluk agama Islam karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk seluruh manusia, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ
جَمِيعاً الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لا إِلَـهَ إِلاَّ
هُوَ يُحْيِـي وَيُمِيتُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ
النَّبِيِّ الأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Katakanlah (wahai Muhammad): "Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku adalah Pesuruh Allah kepada kamu semuanya, (di utus oleh Allah) yang menguasai langit dan bumi, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; Yang menghidupkan dan mematikan. Oleh itu, berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan Kalimah-kalimahNya (Kitab-kitabNya); dan ikutilah dia, supaya kamu beroleh hidayah petunjuk". [Al-A’raaf: 158]

Perkara ini juga sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Demi yang diri Muhammad ada di tangan Allah, tidaklah mendengar seorang dari ummat Yahudi dan Nasrani yang mendengar diutusnya Muhammad, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang diutus dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni Neraka.”[ HR. Muslim (I/134, no. 153], dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.

Mengimani Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya membenarkan dengan penuh penerimaan dan kepatuhan pada seluruh apa yang dibawanya bukan hanya membenarkan semata. Oleh karena itulah Abu Thalib (paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) termasuk orang kafir, iaitu orang yang tidak beriman kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun dia membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia percaya bahawa Islam adalah agama yang terbaik.

Agama Islam meliputi seluruh kemaslahatan yang terkandung di dalam agama-agama terdahulu. Islam memiliki keistimewaan, iaitu serasi dan sesuai (Compatible) untuk setiap masa, tempat dan keadaan ummat.

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ
مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا
أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ
مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً وَلَوْ شَاء
اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي
مَا آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ
جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

"Dan Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad) Kitab (Al-Quran) dengan membawa kebenaran, untuk mengesahkan benarnya Kitab-kitab Suci yang telah diturunkan sebelumnya dan untuk memelihara serta mengawasinya. Maka jalankanlah hukum di antara mereka (Ahli Kitab) itu dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah (kepadamu), dan janganlah engkau mengikut kehendak hawa nafsu mereka (dengan menyeleweng) dari apa yang telah datang kepadamu dari kebenaran. Bagi tiap-tiap umat yang ada di antara kamu, Kami jadikan (tetapkan) suatu Syariat dan jalan ugama (yang wajib diikuti oleh masing-masing). Dan kalau Allah menghendaki nescaya Ia menjadikan kamu satu umat (yang bersatu dalam ugama yang satu), tetapi Ia hendak menguji kamu (dalam menjalankan) apa yang telah disampaikan kepada kamu. Oleh itu berlumba-lumbalah kamu membuat kebaikan (beriman dan beramal soleh). Kepada Allah jualah tempat kembali kamu semuanya, maka Ia akan memberitahu kamu apa yang kamu berselisihan padanya." [Al-Maa-idah: 48]

Islam dikatakan serasi dan sesuai (compatible) di setiap masa, tempat dan keadaan ummat maksudnya adalah berpegang teguh kepada Islam tidak akan menghilangkan kemaslahatan ummat bahkan, dengan Islam ini ummat akan menjadi baik, sejahtera, aman dan sentosa. Tetapi harus diingat bahawa Islam tidak tunduk terhadap masa, tempat dan keadaan ummat sebagaimana yang dikehendaki oleh sebahagian orang. Apabila ummat manusia menginginkan keselamatan di dunia dan di akhirat, maka mereka harus masuk Islam dan tunduk dalam melaksanakan syari’at Islam.
Agama Islam adalah agama yang benar, Allah menjanjikan kemenangan kepada orang yang berpegang teguh kepada agama ini dengan baik, namun dengan syarat mereka harus mentauhidkan Allah, menjauhkan segala perbuatan syirik, menuntut ilmu syar’i dan mengamalkan amal yang shalih.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ
عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

"Dia lah yang telah mengutus RasulNya (Muhammad) dengan membawa petunjuk dan ugama yang benar (ugama Islam), untuk dimenangkan dan ditinggikannya atas segala ugama yang lain, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya." [At-Taubah: 33]
Dan Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala seterusnya:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ
مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

"Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal soleh dari kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahawa Ia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah yang memegang kuasa pemerintahan di bumi, sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka: khalifah-khalifah yang berkuasa; dan Ia akan menguatkan dan mengembangkan ugama mereka (ugama Islam) yang telah diredhaiNya untuk mereka; dan Ia juga akan menggantikan bagi mereka keamanan setelah mereka mengalami ketakutan (dari ancaman musuh). Mereka terus beribadat kepadaKu dengan tidak mempersekutukan sesuatu yang lain denganKu. Dan (ingatlah) sesiapa yang kufur ingkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang derhaka."[An-Nuur: 55]
Islam adalah agama yang sempurna dalam ‘aqidah dan syari’at. Bentuk kesempurnaannya di antaranya adalah:

[1]. Memerintahkan bertauhid dan melarang syirik.
[2]. Memerintahkan untuk berbuat kejujuran (Honest) dan melarang bersikap bohong.
[3]. Memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang bersikap zhalim.
[4]. Memerintahkan untuk bersikap amanah dan melarang mengingkari janji.
[5]. Memerintahkan untuk menepati janji dan melarang bersikap khianat.
[6]. Memerintahkan untuk berbakti kepada ibu-bapak serta melarang mendurhakainya.
Dan yang lainnya.

Secara umum Islam memerintahkan agar berakhlak yang mulia, bermoral baik dan melarang bermoral buruk. Islam juga memerintahkan setiap perbuatan yang baik, dan melarang perbuatan yang buruk dan keji.
Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman;

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
"Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, dan berbuat kebaikan, serta memberi bantuan kepada kaum kerabat; dan melarang daripada melakukan perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar serta kezaliman. Ia mengajar kamu (dengan suruhan dan laranganNya ini), supaya kamu mengambil peringatan mematuhiNya."[ An-Nahl: 90]

Islam didirikan atas lima dasar, sebagaimana yang tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Islam dibangun atas lima hal, (iaitu);

(1) bersaksi bahawa tidak ada yang berhak disembah dengan benar melainkan hanya Allah,
(2) dan bahawa Muhammad adalah utusan Allah,
(3) menegakkan shalat,
(4) membayar zakat,
(5) berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah.

" [Mutafaqun ‘alaihi. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Iman pada bab Qaulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallm:] ,[ Muslim dalam Kitabul Iman bab Arkanul Islam no. 16,] [ Ahmad (II/26, 93, 120, 143)], [at-Tirmidzi (no. 2609) dan an-Nasa-i (VIII/107)]

Rukun Islam ini wajib diimani, diyakini dan wajib diamalkan oleh setiap muslim dan muslimah.

Pertama: Kesaksian tidak ada yang berhak di-sembah dengan benar kecuali Allah Azza wa Jalla dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba serta RasulNya merupakan keyakinan yang mantap, yang diekspresikan dengan lisan. Dengan kemantapannya itu, seakan-akan ia dapat menyaksikanNya.

Syahadah (kesaksian) merupakan satu rukun padahal yang disaksikan itu ada dua perkara, ini dikarenakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penyampai risalah dari Allah Azza wa Jalla. Jadi, kesaksian bahawa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan Allah Azza wa Jalla merupakan kesempurnaan kesaksian Laa ilaha illa Allah, tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah.

Syahadatain (dua kesaksian) tersebut merupakan dasar sah dan diterimanya semua amal. Amal akan sah dan diterima bila dilakukan dengan keikhlasan hanya karena Allah Azza wa Jalla dan mutaba’ah (mengikuti) Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ikhlas karena Allah Azza wa Jalla terealisasi pada Syahadat (kesaksian) laa ilaha illallah, tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Sedangkan mutaba’ah atau mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terealisasi pada kesaksian bahawa Muhammad adalah hamba serta Rasul-Nya.

Faedah terbesar dari dua kalimat syahadat tersebut adalah membebaskan hati dan jiwa dari penghambaan terhadap makhluk dengan beribadah hanya kepada Allah saja serta tidak mengikuti melainkan hanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: Mendirikan shalat artinya beribadah kepada Allah dengan mengerjakan shalat wajib lima waktu secara istiqamah serta sempurna, baik waktu maupun caranya. Shalat harus sesuai dengan contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Shalatlah kalian sebagaimana engkau melihatku shalat.” ( HR. Al-Bukhari, dari Shahabat Malik bin Khuwairits radhiyallahu 'anhu)

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ
اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

"Bacalah serta ikutlah (wahai Muhammad) akan apa yang diwahyukan kepadamu dari Al-Quran, dan dirikanlah sembahyang (dengan tekun); sesungguhnya sembahyang itu mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar; dan sesungguhnya mengingati Allah adalah lebih besar (faedahnya dan kesannya); dan (ingatlah) Allah mengetahui akan apa yang kamu kerjakan. " (Al-Ankabut: 45.)

Ketiga: Mengeluarkan zakat artinya, beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla dengan menyerahkan kadar yang wajib dari harta-harta yang harus dikeluarkan zakatnya.

وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ

"Dan dirikanlah kamu akan sembahyang dan keluarkanlah zakat, dan rukuklah kamu semua (berjemaah) bersama-sama orang-orang yang rukuk." (Al-Baqarah: 43)

Salah satu hikmah mengeluarkan zakat adalah membersihkan harta, jiwa dan moral yang buruk, yaitu kekikiran serta dapat menutupi kebutuhan Islam dan ummat Islam, menolong orang fakir dan miskin.

Keempat: Puasa Ramadhan artinya, beribadah hanya kepada Allah dengan cara meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan di siang hari di bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh).

Salah satu hikmahnya ialah melatih jiwa untuk meninggalkan hal-hal yang disukai karena mencari ridha Allah Azza wa Jalla.

Kelima: Naik Haji ke Baitullah (rumah Allah), artinya beribadah hanya kepada Allah dengan menuju ke al-Baitul Haram (Ka’bah di Makkah al-Mukarramah) untuk mengerjakan syiar atau manasik Haji.

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكاً وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ

"Sesungguhnya Rumah Ibadat yang mula-mula dibina untuk manusia (beribadat kepada Tuhannya) ialah Baitullah yang di Makkah yang berkat dan (dijadikan) petunjuk hidayah bagi umat manusia."(Ali ‘Imran: 96.)

Salah satu hikmahnya adalah melatih jiwa untuk mengerahkan segala kemampuan harta dan jiwa agar tetap taat kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu Haji merupakan salah satu macam jihad fi sabilillah.[7] ]. Diringkas dan ditambah dari kutaib Syarhu Ushuulil Iimaan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.

Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas,

Di-edit oleh: HAR

Wednesday, March 25, 2009

Sikap Kebid'ahan, pada Syi'ah


بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Kesesatan Qaradhawi - Sikap Kebid'ahan, pada Syi'ah
Penulis: Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini

Qaradhawi Dan Perayaan-Perayaan Bid’ah

Telah diketahui bahawasanya tidak ada dalam agama kita hari raya yang lebih banyak dari hari-hari raya yang telah disyariatkan Allah dan Rasul-Nya, yaitu Idul Adhha, Idul Fithri, dan hari Jum’at.

Adapun perayaan-perayaan yang bersumber dari musuh-musuh Islam adalah hari raya yang kita tidak mengakuinya dan tidak mengimaninya dengan dua catatan :

1. Bila merayakan hari-hari raya mereka dalam rangka beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah maka ini adalah bid’ah dalam din Allah selain hal itu juga berarti tasyabbuh (menyerupai) mereka.

2. Bila merayakan tidak dengan maksud beribadah akan tetapi hanya meniru dan mencontoh mereka dalam hari raya mereka maka di sini terdapat perbuatan tasyabbuh dengan mereka dan itu diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.

Adapun Qaradhawi telah ditanya seputar masalah hari-hari raya ini maka ia memberi fatwa yang bertentangan dengan Al Kitab dan As Sunnah serta para ulama ummat. Inilah pernyataannya ketika salah seorang wartawan bertanya :

“Apakah Anda merayakan hari kelahiran istri Anda?”

Dia menjawab :Aku menyukai setiap hal-hal yang bersangkutan dengan istriku, aku merayakan hari perkawinanku setiap tahun akan tetapi aku mempunyai pendapat dalam masalah perayaan hari kelahiran (ulang tahun). Aku tidak mengatakan itu adalah haram akan tetapi aku melihat bahwa itu adalah semacam taklid buta terhadap orang-orang Barat dalam adat dan kebiasaan mereka. Kita tidak diharuskan merayakan hari lahir setiap tahun. Akan tetapi aku berpendapat wajib bagi setiap insan untuk merenung pada hari ulang tahunnya unruk mengintrospeksi diri apa yang telah aku kerjakan untuk kehidupanku.

Kebaikan apakah yang telah aku sia-siakan. Seperti yang di dalam ilmu ekonomi dinamakan sebagai perhitungan akhir.

Akan tetapi berkaitan dengan anak-anak maka terdapat perayaan-perayaan yang syar’i. Apabila anak tersebut dilahirkan, kita merayakannya setelah satu minggu. Kita menyembelih seekor atau dua ekor kambing sebagai akikah. Dan aku berpendapat bahwa anak setelah berusia tujuh tahun kita merayakan si anak dan mengatakan kepadanya ini adalah saat untuk shalat. Kita berikan padanya mainan dan manisan (kembang gula) dan hadiah yang sesuai. Pada saat usia sepuluh tahun, kita rayakan perayaan yang lain seraya berkata padanya ini perayaan masa dipukulnya engkau, engkau telah dan tidak hanya diperintahkan untuk shalat. Akan tetapi engkau akan kena pukul apabila engkau melalaikannya. Ini adalah sebagai pengamalan terhadap hadits :

“Perintahkan anak-anakmu untuk melakukan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka tatkala berumur sepuluh tahun (jika tidak mengerjakannya).”

Yang dimaksud perayaan di sini adalah tertanamnya kesadaran dalam benak anak tersebut bahwa shalat tersebut adalah hal yang penting. Maka kita adakan perayaan baginya. Dan pada saat umur kelima belas, kita mengadakannya kembali dan berkata ini adalah usia dimana engkau telah terkena taklif (kewajiban). Engkau bertanggung jawab di hadapan Allah atas segala tindak-tandukmu dan akan dituliskan bagimu kebaikan dan keburukan. Dan apabila ia berhasil atau telah menunaikan pekerjaan yang bagus atau memenangkan perlombaan, kita adakan perayaan. Akan tetapi ini bukanlah halangan apabila seorang suami merayakan hari ulang tahun istrinya dengan mengucapkan selamat ulang tahun dan semoga Anda tetap sehat. Ataupun memberikan hadiah kepadanya setiap lima atau sepuluh tahun sekali. Adapun atribut-atribut dalam perayaan ulang tahun seperti lilin-lilin, semua ini tidak aku senangi terjadi pada diri seorang Muslim jika ia mengharuskan diri dengannya hingga menjadi kebiasaan dan menjadi ibadah resmi yang diakui. (Harian Ar Raayah nomor 597, 20 Jumadil Akhir 1419)

Pembaca, ini adalah perkataan Qaradhawi sesuai dengan teksnya. Demi menjelaskan penyelisihannya terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan yang terkandung di dalamnya maka aku katakan :Pertama, tentang kebiasaan Qaradhawi merayakan hari perkawinannya bersama istrinya setiap tahun maka tidaklah ada hari raya yang dinamakan hari raya pernikahan di dalam Islam. Dan merayakan hari pernikahan setiap tahun belumlah pernah terjadi di zaman Salaf, baik dari para shabahat ataupun para pengikutnya dari kalangan ulama ataupun para imam. Tidak lain perayaan tersebut berasal dari perbuatan Yahudi dan Nashara.

Kedua, perkataannya :

Aku tidak mengatakan bahwa merayakan ulang tahun adalah haram akan tetapi aku berpendapat bahwa itu adalah semacam taklid buta terhadap orang-orang Barat dalam adat serta kebiasaan mereka.

Pembaca, saya kira pertentangan yang ada dalam perkataan Qaradhawi jelas sekali. Hal itu karena ia tidak berpendapat haramnya perayaan-perayaan tersebut. Tetapi di sisi lain ia berpendapat bahwa itu adalah semacam taklid kepada Barat. Berdasarkan hal ini maka mungkin saja ia (Qaradhawi) berpendapat bahwa taklid buta kepada Barat tidak haram dan ini tidaklah mengherankan karena ia telah mengajak untuk mencintai mereka dan ini menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah serta ijma’ umat Islam sebagaimana akan dijelaskan secara rinci. Atau ia berpendapat bahwa tidak boleh mengikuti (taklid) kepada orang kafir dalam perbuatan-perbuatan mereka dan perayaan-perayaan mereka maka terjadilah pertentangan dalam perkataannya.

Ketiga, perkataannya :

Akan tetapi berkaitan dengan anak-anak maka kita mempunyai perayaan-perayaan yang syar’i.

Maka kami menjawabnya, dari manakah Anda dapatkan dalil tentang disyariatkannya perayaan-perayaan yang tidak ada sedikitpun perintah Allah ini?! Apakah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah merayakannya untuk Al Hasan dan Al Husain, tuannya para pemuda penduduk surga dengan perayaan-perayaan yang kau sebutkan ini?!!!

Lagipula, adakah salah seorang shahabat merayakannya, baik para khalifahnya (dari Khulafa’ur Rasyidin, peny.) ataupun yang lainnya? Adakah salah seorang imam dari imam-imam kaum Muslimin merayakannya? Jawabnya adalah tidak! Maka seandainya hal ini belum pernah terjadi di masa mereka maka dari manakah letak disyariatkannya? Kecuali apabila ia menginginkan bahwa perayaan tersebut disyariatkan dalam ajaran Ahli Kitab. Karena ia tidak menyukai untuk menyesakkan hati-hati mereka dan menjadikan mereka marah maka ia mengajak untuk melakukan perayaan dengan tujuan mencari keridhaan Ahli Kitab.

Maka kami katakan padanya, benar, sesungguhnya hal tersebut memang termasuk dari bualan mereka, maka itu adalah urusanmu dan Ahlul Kitab. Adapun Muslimin mereka berpendapat tentang haramnya tasyabbuh dengan mereka setelah mereka mengetahui dalil-dalil yang mengharamkan hal tersebut. Diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) raa’ina tetapi katakanlah unzhurna dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al Baqarah : 104)

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini :

“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari perbuatan menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan mereka. Hal ini karena Yahudi mementingkan perkataan yang mengandung tauriyah (dalamnya buruk, zahirnya baik) dengan maksud merendahkan Muslimin, bagi merekalah laknat Allah.”

Allah berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al An’am : 159

Dan firman Allah :

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (QS. Ali Imran : 105)

Yang dimaksud dengan kalimat, dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai adalah Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani.

Dan firman Allah :

“Dan tidaklah berpecah-belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al Bayyinah : 4)

Syaikhul Islam rahimahullah berkata :“Sungguh Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :Tidaklah engkau bertanggung jawab kepada mereka sedikitpun.

Ini menunjukkan berlepas dirinya Nabi dari mereka dalam segala hal. Dan barangsiapa yang mengikuti selain Nabi dalam perkara-perkara yang beliau ajarkan maka ia termasuk golongan orang tersebut dalam masalah itu.” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim, halaman 46)

Diantaranya, sebagaimana tersebut dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beliau bersabda :

“Berbedalah dengan orang-orang musyrik.”

Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu ia berkata, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Berbedalah dengan orang Majusi.”Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :

“Lafaz mukhalafat al musyrikin (berbeda dengan orang musyrik) adalah dalil bahwa semua jenis dari sikap berbeda adalah dimaksudkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim : 59)

Dan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk menyelisihi mereka dalam masalah ibadah dalam hadits dari Syaddad bin Aus radliyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Berbedalah dengan Yahudi, maka sesungguhnya mereka tidak shalat dengan menggunakan sandal ataupun sepatu mereka.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Daud I:28 nomor 607)

Dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu Rasulullah bersabda :

“Agama ini akan selalu menang selama manusia (Muslimin) menyegerakan berbuka karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkan berbuka.” (HR. Abu Daud dishahihkan oleh Albani dalam Shahih Abu Daud I:448 nomor 2063)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

“Ini adalah nas yang menyebutkan bahwa kemenangan yang dicapai agama ini adalah dengan menyegerakan berbuka dalam rangka menyelisihi Yahudi dan Nasrani. Apabila perbedaan dengan mereka adalah sebab kemenangan agama dan maksud dari diutusnya para rasul adalah dimenangkannya agama Allah diatas agama-agama yang lain maka berbeda dengan mereka adalah diantara tujuan yang paling besar dari bi’tsah (diutusnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim, halaman 60)

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim disebutkan :

Dari Anas bahwasanya Yahudi apabila istri mereka sedang haidh mereka tidak memberinya makan dan tidak menggaulinya di rumah. Maka para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bertanya kepada beliau, maka Allah menurunkan ayat :

“Dan mereka bertanya padamu tentang haidh, katakanlah itu adalah penyakit, maka jauhilah istri-istrimu pada saat haidh ... .” Sampai akhir ayat.

Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Lakukanlah segala sesuatu kecuali nikah.”

Maka sampailah hal tersebut kepada Yahudi maka mereka berkata :

”Tidaklah orang ini mendapati sesuatu pun dari urusan kami kecuali ia menyelisihinya.” (HR. Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

“Hadits ini menunjukkan akan banyaknya hal yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi-Nya dari perkara-perkara yang sifatnya menyelisihi Yahudi. Bahkan beliau menyelisihi mereka dalam setiap urusan-urusan mereka. Hingga mereka berkata :

‘Tidaklah dia mendapati sesuatu pun dari urusan kami kecuali ia menyelisihinya.’” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim, halaman 62)

Hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud)

Syaikhul Islam berkata dalam kitab yang sama halaman 83 :

[ Hadits ini paling tidak menunjukkan ketentuan diharamkannya tasyabbuh dengan mereka walaupun zahir hadits tersebut menunjukkan kafirnya orang yang menyerupai mereka sebagaimana dalam firman Allah :

“Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al Ma’idah : 51) ]

Al Hafidz Ibnu Katsir berkata ketika menyebutkan hadits ini :

“Hadits ini menunjukkan larangan yang keras dan ancaman berbuat tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan, pakaian, perayaan, dan peribadatan mereka, dan lain sebagainya dari perkara-perkara yang tidak disyariatkan bagi kita dan kita tidak mengakuinya.” (Tafsir Ibnu Katsiir I:262)

Syaikhul Islam telah menyebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan wajibnya menyelisihi Ahli Kitab dan orang kafir selain mereka. Lalu beliau berkata :“Kami telah menyebutkan dalil-dalil dari Al Kitab dan As Sunnah, ijma’ dan atsar serta pendapat para ulama yang menunjukkan bahwa tasyabbuh dengan mereka termasuk sesuatu yang dilarang. Dan menyelisihi gaya hidup mereka ada yang wajib dan ada yang sunnah sesuai kondisinya dan telah dijelaskan oleh perintah Allah dan Rasulullah bahwa menyelisihi mereka adalah disyariatkan. Baik perbuatan tersebut dimaksudkan oleh pelakunya dalam rangka tasyabbuh dengan mereka ataupun tidak dan begitu juga larangan A1lah untuk menyerupai mereka mencakup apabila dilakukan dengan maksud menyerupai mereka atau tanpa maksud menyerupai karena kebanyakan amalan tersebut kaum Muslimin tidak bermaksud menyerupai mereka.” (Iqtidha As Shirath Al Mustaqiim, halaman 177-178)

Pembaca yang budiman, apabila hal tersebut telah diketahui, jelaslah olehmu bahwa keikutsertaan bersama mereka dan merayakan hari-hari besar mereka adalah termasuk perbuatan menyerupai mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan :

“Sesungguhnya mengagungkan hari-hari besar mereka dan yang semisalnya menyetujuinya adalah salah satu jenis penghormatan kepada mereka maka sesungguhnya mereka bergembira dan bersuka ria dengan hari tersebut sebagaimana mereka merasa gundah apabila perihal agama mereka yang bathil tidak dipedulikan.” (Iqtidha halaman 124)

Dan beliau berkata juga tentang hari-hari besar Ahli Kitab :

Menyerupai mereka pada hari-hari besar mereka tidaklah diperbolehkan dikarenakan dua alasan :

Yang pertama, bahwa hal ini adalah menyetujui Ahli Kitab dalam hal-hal yang tidak ada dalam agama kita dan bukan termasuk kebiasaan para pendahulu kita dari kalangan Salaf. Sehingga disini terdapat mafsadat berupa penyerupaan dengan mereka dan dalam meninggalkannya terdapat maslahat yaitu menyelisihi mereka. Dan meskipun dalam perkara yang disepakati bukan merupakan sesuatu yang diambil dari mereka pastilah yang disyariatkan bagi kita adalah menyelisihi mereka karena dengan menyelisihi mereka ada maslahatnya sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya. Barangsiapa serupa dengan mereka maka hilanglah pada dirinya kemaslahatan ini walaupun tidak mendatangkan mafsadah. Lalu bagaimana kalau ia menggabungkan keduanya?!

Adapun alasan yang kedua, khusus dalam hari-hari besar orang-orang kafir itu sendiri maka telah ada dalil-dalil dari Al Kitab, As Sunnah, dan Ijma’ dan pandangan ulama. Adapun dalil-dalil dari Al Kitab :

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu (Az Zuur) dan jika mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqan : 72)

Kemudian beliau menyebut beberapa ulama Salaf yang menafsirkan kata az zuur dalam ayat di atas dengan makna hari-hari raya orang musyrik, di antara mereka adalah Ibnu Sirrin, Ikrimah, Ad Dhahhak, Mujahid dan ‘Atha bin Yasar. Kemudian beliau berkata :

Adapun dalil dari As Sunnah, Anas bin Malik radliyallahu 'anhu meriwayatkan :

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam datang ke Madinah dan mereka mempunyai dua hari saat bersenang-senang maka beliau berkata : “Apakah dua hari tersebut?” Kami menjawab : “Itu adalah hari di mana kita bersenang-senang di zaman jahiliyah.” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untukmu yang lebih baik, hari Adha dan hari raya Fitri.” (HR. Abu Daud)

Sisi pendalilan dari hadits ini adalah dua hari raya di masa jahiliyah tidak diakui Rasulullah dan beliau tidak membiarkan mereka bersenang-senang seperti biasanya. Sebaliknya beliau bersabda :

“Sesungguhnya Allah telah menggantikan hari tersebut dengan yang lebih baik.”Dan pengganti dari sesuatu mengharuskan untuk meninggalkan yang digantikan karena pengganti dan yang diganti tidak bisa bersatu.

Lalu beliau (Ibnu Taimiyah) menyebutkan dalil-dalil dari As Sunnah lainnya selain yang telah kami sebutkan. Kemudian beliau berkata :

["Adapun dalil ijma’ dan atsar adalah dari berbagai sisi, salah satunya yang telah aku isyaratkan bahwa Yahudi, Nasrani, serta Majusi tatkala masih tinggal di negeri-negeri Muslim membayar jizyah. Mereka merayakan hari besar mereka dan segala ketentuan yang mereka rayakan adalah bersemayam dalam banyak jiwa manusia.

Dan tidak pernah terjadi pada kaum Muslimin terdahulu ikut serta dengan mereka dalam hal-hal semacam itu. Kalaulah tidak karena kebencian dan larangan yang menghalangi kalbu-kalbu mereka pastilah hal itu akan sering mereka lakukan. Karena suatu perbuatan bisa terjadi dengan adanya faktor pemicu dan tanpa adanya faktor penghalang. Faktor pemicunya adalah realita sedangkan faktor penghalangnya adalah agama Islam. Islamlah yang menghalangi penyerupaan tersebut dan itulah yang seharusnya."]

Kemudian beliau menyebutkan banyak atsar dari para shahabat dan yang lainnya dalam melarang tasyabbuh dengan orang-orang kafir musyrik dan ikut serta dalam hari-hari raya mereka.

Pembaca, dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah tersebut cukup sebagai hidayah bagi para pencari Al Haq yang menjauhi dari kesesatan. Agar tidak berkepanjangan, kami sarankan Anda membaca kitab Syaikhul Islam yang tiada bandingnya, Iqtidha’ As Shiraathil Mustaqiim Mukhaalafati Ashaabul Jahiim. Ini adalah buku yang paling bagus dalam masalah tasyabbuh bil kuffar, rujuklah buku ini.

Menghadiri Perayaan Mengenang Khomeini

Karena Al Qaradhawi tidak mengharamkan perayaan-perayaan yang berasal dari Yahudi dan Nashara maka dia pun telah menghadiri banyak perayaan tersebut. Misalnya, ia menghadiri perayaan tahunan mengenang kepergian Khumaini. Kedutaan Iran merayakan pesta di Dafnah dalam rangka mengenang tewasnya Khumaini. Tentang perayaan tersebut diberitakan oleh harian yang terbit tanggal 17 Muharram 1417 H.

Inilah teksnya :

Perayaan dihadiri oleh banyak tamu, di antaranya oleh Dr. Syaikh Yusuf Al Qaradhawi dan para diplomat ... .Perayaan tersebut mencakup ceramah-ceramah agama dan qasidah-qasidah mengenang Imam Al Khumaini yang dilantunkan dengan dua bahasa, Arab dan Persia, setelah itu diiringi pesta makan malam. Perayaan yang diadakan oleh kedutaan ini diselenggarakan sore hari kemarin di kediaman mereka di pemukiman diplomat di Dafnah dalam rangka mengenang tewasnya Imam Al Khumaini di tahun yang ketujuh.

Saudaraku yang mulia, perayaan mengenang perginya seorang pemimpin seperti ini dan yang sejenisnya adalah bid’ah. Tidak ada sedikitpun perintah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan belum pernah terjadi di masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Serta belum pernah shahabat mengadakan perayaan dalam rangka mengenang kepergian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, imam manusia seluruhnya. Demikian juga para imam kaum Muslimin setelah mereka. Adapun perbuatan Qaradhawi semacam ini termasuk bersekutu dalam kebid’ahan, bid’ah yang baru, dan taklid kepada Barat. Tentang ini telah disebutkan dalil-dalil mengenai keharamannya. Begitu juga perbuatan ini termasuk turut serta memperbesar syi’ar Rafidhah (Syiah).

Sesungguhnya Al Khumaini --orang yang Qaradhawi turut serta dalam perayaan bid’ahnya dalam rangka mengenang matinya-- adalah orang jahat yang telah mencela shahabat Nabi dan mengkafirkan sebagian mereka sedang ia sendiri adalah salah seorang imam dari firqah Itsna ‘Asyariyah, firqah Syiah yang meyakini bahwa terdapat Al Qur’an yang turun kepada Fatimah, selain Al Qur’an yang diketahui para Muslimin.Al Khumaini mempunyai perkataan yang karenanya ia dikafirkan oleh para ulama. Diantaranya ia mengatakan :

Sesungguhnya Imam (yakni Imam Syiah) mempunyai maqam (kedudukan) yang dipuja dan derajat yang tinggi dan kekuasaan takwiniyah (membina, mengelola) yang seluruh penghuni alam semesta tunduk kepada kekuasaannya. (Wilaayah Kauniyah, halaman 52)

Ia berkata tentang para imam Syiah Itsna ‘Asyariyah sebagai berikut :

Sesungguhnya yang termasuk kepercayaan pokok mazhab kita adalah bahwa para imam kita mempunyai maqam (kedudukan) yang tidak dimiliki baik oleh malaikat yang dekat dengan Allah ataupun seorang nabi yang diutus.

Bahkan ia menjadikan ajaran-ajaran imam mereka sama seperti ajaran-ajaran Al Qur’an di mana ia mengatakan :

Sesungguhnya ajaran-ajaran para imam adalah sama seperti ajaran-ajaran Al Qur’an yang tidak dikhususkan bagi satu generasi saja. Dan sesungguhnya ia merupakan ajaran bagi semua orang di setiap masa dan setiap negeri sampai hari Kiamat maka wajib untuk melaksanakan dan mengikutinya.Dan sungguh ia telah menuduh Abu Bakar As Shiddiq dan Al Faruq Umar bin Khattab dengan kemunafikan.

Pembaca yang budiman, bukanlah tujuanku di sini untuk memaparkan biografi Al Khumaini, akan tetapi sebagai peringatan akan kejahatannya. Bersamaan dengan itu seorang yang dianggap sebagai ahli fiqh umat Islam, yakni Qaradhawi, adalah orang yang dengan serta merta menghadiri perayaan yang diadakan dalam rangka mengenang matinya orang jahat ini!

Dan ini tidaklah aneh jika disandarkan kepada seorang Qaradhawi yang menganut pemahaman Ikhwani. Karena mereka sejak zaman dahulu kala telah berdakwah untuk mendekatkan antara Syiah dan Ahlus Sunnah. Qaradhawi sendiri adalah salah satu dari dai-dai mereka sebagaimana akan datang penjelasannya nanti.

Propaganda Pendekatan Sunnah Dan Syiah

Dakwah pendekatan antara Sunnah dan Syiah adalah dakwah pembauran dua hal yang berlawanan dan penggabungan yang mustahil, dakwah yang berpanjikan persatuan dan menentang perpecahan, bekerja sama dalam permasalahan-permasalahan kontemporer yang sebagai imbalannya adalah mempertaruhkan kehormatan para shahabat radliyallahu 'anhum bahkan akidah Salaf.

Inilah dakwah yang menghancurkan pondasi yang besar dari pokok-pokok keyakinan Muslimin yaitu Al Wala’ wal Bara’. Dakwah yang muncul dari manusia-manusia jahat yang menyimpang dari As Shirathal Mustaqim dan petunjuk yang benar seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh Al Mishri, dan para pengikutnya seperti pemimpin hizib Ikhwan, Hasan Al Banna lalu bersambung kepada Al Ghazali, As Siba’i, dan Qaradhawi.

Mereka perbudak pena-pena mereka, mimbar-mimbar, serta karangan-karangan mereka untuk mencapai tujuan mereka. Lalu mereka menghiasinya dengan panji-panji yang mengkilat dan kata-kata manis hingga para Muslimin yang awam tertipu dengannya. Berikutnya, sejenak kita berbincang dengan salah satu dai tersebut, yaitu Qaradhawi.

Sungguh ia telah melontarkan ceramahnya dalam upacara wisuda yang ditulis oleh Harian Akhbarul Khalij yang terbit tanggal 20/9/1998. Inilah nukilan tulisan wartawan tersebut :

Yang mulia Syaikh Doktor Qaradhawi telah mengisyaratkan kepada sikap dan toleransinya terhadap pelbagai mazhab Sunni dan mazhab lainnya seperti Syiah, Zaidiyah, dan Ibadhiyah. Dia berkata :Sesungguhnya kita tidak merasa sesak dengan perbedaan mazhab sebagaimana lslam tidak merasa sesak dengan perbedaan agama, maka perbedaan itu suatu hal yang pasti terjadi khususnya furu’ (cabang) dalam sebagian masalah-masalah (fiqh, peny.) dan furu’ dalam masalah akidah.

Karena dasar-dasarnya --Alhamdulillah-- masih disepakati, kita adalah pemeluk agama yang satu dan kiblat kita satu dan kadang perbedaan tersebut terjadi di seputar masalah-masalah yang berkenaan dengan af’alil ibad (perbuatan hamba) dan tanggung jawab mereka terhadapnya. Dan menyangkut masalah kemakshuman para imam Syiah dan imamiyah itu semua pada dasarnya adalah masalah furu’ dalam akidah akan tetapi perkara yang mendasar tetap disepakati, maka tidaklah berbahaya perbedaan dan perselisihan dalam masalah furu’ dan semua dapat digabungkan menjadi satu.

Qaradhawi menguatkan bahwa perbedaan mazhab adalah hal yang harus terjadi dalam agama, bahasa, kemanusiaan, dan sunnah kauniyah. Ia memberikan beberapa contoh tentang itu. Yakni tidak perlu orang yang bermadzhab Syiah untuk meninggalkan Syiahnya akan tetapi ajakan untuk pendekatan merupakan tuntutan bagi kita untuk menyatukan sikap dalam menghadapi persoalan-persoalan masa kini.”

Untuk mempermudah memahami perkataan Qaradhawi di atas kami akan meringkasnya menjadi beberapa poin :

1. Tuduhannya bahwa Islam bertoleransi dengan madzhab-madzhab seperti Syiah, Zaidiyah, dan Ibadhiyah.

2. Pengakuannya bahwa ia tidak merasa sesak dengan perbedaan mazhab sebagaimana Islam tidak merasa sesak dengan perbedaan agama.

3. Ia membagi akidah menjadi furu’ (cabang) dan ushul (pokok).

4. Tuduhannya bahwa keimanan Ahlus Sunnah dan Syiah, Zaidiyah, Ibadiyah adalah satu.

5. Tuduhannya bahwa masalah kemakshuman dalam Imamiyah adalah termasuk furu’ dalam akidah adapun pokoknya adalah sama.

6. Ia tidak meminta seorang Syiah untuk meninggalkan ajaran Syiah.

7. Ajakan dia untuk taqrib (pendekatan).

Poin pertama, yaitu tuduhannya bahwa Islam bertoleransi dengan pelbagai mazhab seperti Syiah, Ibadhiyah, dan Zaidiyah maka kami katakan pada Qaradhawi :Sesungguhnya kalimat Islam apabila dilontarkan tidak dimaksudkan kecuali Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran Salafus Shalih dari para sahabat radliyallahu 'anhum dan para pengikut setelah mereka. Oleh karena itu tidak ada toleransi antara mereka dengan orang-orang yang disebut dari firqah-firqah bid’ah. Karena hal ini bertentangan dengan ajaran Islam dalam banyak permasalahan ushul, baik masalah keyakinan ataupun hukum. Dan apabila yang dimaksud dengan Islam adalah Islam yang berdiri di atas pemahaman Khalaf dari pengamalan (meninggikan) hawa nafsu dan perubahan nas-nas secara maknawi, yang ini mungkin untuk bertoleransi bersama dengan seluruh golongan-golongan mubtadi’ karena sumber mereka adalah satu.

Poin kedua, bahwa ia tidak merasa sesak dengan perbedaan mazhab. Ini bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah yang menyeru pada persatuan dan membuang perpecahan dan perselisihan. Firman Allah :

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiya’ : 92)

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran : 103)

Dan dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut banyak yang akan disebutkan dalam pembicaraan tentang pemecahbelahan Qaradhawi terhadap umat.Maka apabila perpecahan diharamkan dalam agama kita dan merupakan penyebab kelemahan orang Islam dan hilangnya kekuatan mereka maka bagaimanakah seorang Muslim rela dengan perkara ini dan tidak merasa sesak sedikit pun.

Poin ketiga, ia membagi akidah menjadi furu’ (cabang) dan ushul (pokok). Pembagian ini tidaklah datang dari Allah ataupun Rasul-Nya dan belum pernah dikerjakan oleh para Salaf dan juga para pengikutnya, ulama, dan para imam bahkan mereka mengingkari Mu’tazilah yang membagi syariat menjadi ushul dan furu’. Mereka menjadikan masalah-masalah akidah sebagai ushul dan hukum-hukum syar’i sebagai furu’. Ibnul Qayyim telah menghancurkan bangunannya sampai ke dasar-dasarnya hingga runtuh menimpa mereka.

Dan diantara komentar beliau (Ibnul Qayyim) tentang pembagian ini adalah :

“Setiap pembagian yang tidak ditopang oleh Al Qur’an dan As Sunnah dan pokok-pokok syariat serta tidak diperhatikan (dikategorikan) oleh syariat maka ia adalah pembagian yang batil dan harus dicampakkan dan pembagian ini yakni pembagian agama menjadi ushul dan furu’ adalah salah satu dari dasar-dasar kesesatan mereka.” (Mukhtashar As Shawaa’iq, halaman 412)

Apabila ulama dan para imam kita mengingkari Mu’tazilah menyangkut pembagian ini maka aku tidak mengerti bagaimana bisa Qaradhawi dengan leluasa berpendapat seperti itu serta menuliskannya dalam setiap buku-buku dan menyampaikannya dalam pertemuan-pertemuannya. Terlebih lagi ia membagi akidah menjadi ushul dan furu’ yang mana kaum Mu’tazilah masih menganggapnya ushul, semua ini menunjukkan bahwa ia telah mengikuti pendapat-pendapat yang ganjil yang menyelisihi manhaj Salaf radliyallahu 'anhum.

Poin keempat, tuduhannya bahwa keimanan Ahlus Sunnah, Syiah, Zaidiyah, dan Ibadhiyah adalah sama. Kemungkinan ia jahil dengan keyakinan firqah-firqah tersebut atau itu adalah pengkaburan terhadap Muslimin karena perbedaan antara keimanan Ahlus Sunnah dengan keimanan firqah-firqah tersebut adalah hal yang tidak samar lagi bagi siapa yang mempunyai sedikit dari ilmu yang bermanfaat (ilmu agama) terlebih lagi mereka yang dijuluki dengan gelar-gelar yang besar. Agar menjadi jelas perbedaan antara keimanan Ahlus Sunnah dengan keimanan firqah-firqah tersebut akan aku sebutkan beberapa perbedaan :

1. Sesungguhnya keimanan Ahlus Sunnah berdasarkan keyakinan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Sementara mereka (firqah-firqah tersebut) meyakini bahwa Al Qur’an itu makhluk.

2. Iman Ahlus Sunnah berdiri atas dasar keyakinan bahwa Mukminin akan melihat Rabb mereka sedang Zaidiyah dan Ibadhiyah tidak mengimaninya.

3. Iman Ahlus Sunnah tegak berdasar keyakinan bahwa para pelaku dosa besar adalah ahli maksiat bukan orang kafir dan mereka berada di bawah kehendak Allah, apakah Dia menyiksanya dengan azab atau mengampuninya. Sedangkan Zaidiyah mengatakan bahwa pelaku dosa besar berada pada satu tempat di antara dua tempat, manzilah baina manzilatain, bukan orang mukmin, bukan pula orang kafir. Adapun Ibadhiyah mereka meyakini bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, oleh karena itu mereka mengkafirkan masyarakat Muslim.

Perbedaan-perbedaan di atas hanyalah sebagai contoh karena bukan di sini tempatnya untuk membeberkannya secara panjang lebar. As Syahristany mengakui bahwa keyakinan Zaidiyah adalah keyakinan Mu’tazilah di mana ia berkata :

“Adapun dalam permasalahan ushul, mereka berpendapat dengan pendapat Mu’tazilah selangkah demi selangkah.” (Al Milal Wan Nihal I:319)

Ar Razy menyebutkan hal ini juga dalam Al Mahshal halaman 248. Begitu juga disebutkan oleh Al Maqbaly dalam Al ‘Ilmu Asy Syaamikh halaman 319. Ini adalah berkenaan dengan Zaidiyah yang tergolong firqah Syiah yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah. Maka bagaimanakah dengan firqah Syiah lainnya yang jauh menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah?!

Namun demikian, Qaradhawi menyamakan semua firqah ini dan pemikiran-pemikiran yang dibawanya serta keyakinan-keyakinan yang batil dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah para pemeluk keyakinan yang murni dan bersih yang disarikan dan diambil dari Kalamullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berdasarkan pemahaman Salafus Shalih.

Poin kelima, tuduhannya bahwa kemakshuman dalam Syiah Imamiyah adalah termasuk dalam masalah furu’iyah dalam akidah.

Dan bantahan terhadap point ini dari dua sisi :

Yang pertama, penjelasan tentang hakikat keyakinan ini. Aku berkata, kemakshuman menurut Syiah tergolong permasalahan ushul yang besar yang termasuk dasar akidah mereka. Syiah meyakini bahwa para imam mereka makshum dari segala kesalahan dan kealpaan dan dari melakukan dosa-dosa besar ataupun dosa-dosa kecil. Keyakinan ini tercantum dalam banyak kitab-kitab yang mereka jadikan sebagai bahan rujukan, antara lain kitab Aqa’idul Imamiyah karangan tokoh Syiah masa kini, Muhammad Ridha Mudhaffar, An Nukatul I’tiqadiyah karangan Al Mufid, kitab Al Bihar susunan Al Majlisy. Sungguh ia telah mengisahkan bahwa kemakshuman para imam Syiah merupakan kesepakatan mereka. Tidak cukup di situ saja bahkan mereka menjadikan para imam mereka berkedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan para nabi dan malaikat.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Al Khumaini :

Merupakan hal pokok dalam mazhab kita bahwa para imam kita mempunyai kedudukan yang tidak bisa diraih oleh malaikat yang dekat ataupun nabi-nabi yang diutus.” (Al Wilayah At Takwiiniyah, halaman 52)

Inilah kemakshuman menurut Syiah.

Yang kedua, penjelasan tentang kebatilan keyakinan yang rusak ini dan itu dilihat juga dari dua sisi :a. Bahwasanya kemakshuman yang dijadikan oleh Syiah bagi para imam mereka tidak terdapat pada para Nabi. Allah berfirman menceritakan tentang Nabi Adam ‘Alaihis Salam :

“Dan durhakalah Adam kepada Rabbnya dan sesatlah ia. Kemudian Rabbnya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (QS. Thaha : 121-122)

Allah juga berfirman :

Keduanya berkata : “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf : 23)

Dan inilah rasul kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Allah berfirman tentang beliau :

“Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang) sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta.” (QS. At Taubah : 43)

Allah juga berfirman :

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).” (QS. Abasa : 1-4)

Dahulu orang-orang musyrik menawarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam agar menjadikan bagi mereka suatu hari dimana para hamba sahaya seperti Ibnu Mas’ud dan Bilal tidak bisa menghadirinya. Hal tersebut sempat terbersit dalam hati Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam akan tetapi Allah menurunkan ayat :

Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi hari dan petang hari sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.” (QS. Al An’am : 52)

Allah berfirman :

“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : ‘Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah.’ Sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (QS. Al Ahzab : 37)

Terdapat hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang menunjukkan bahwa beliau tidak makshum secara mutlak. Beliau bersabda :

“Tidak lain aku hanyalah seorang manusia biasa, kadang datang padaku sebuah perkara. Maka barangkali sebagian dari mereka lebih pandai menyampaikan dari yang lainnya. Maka aku menyangka bahwa ialah yang benar (jujur) maka aku memenangkannya. Dan barangsiapa yang telah aku menangkan perkaranya dengan mengorbankan hak seorang Muslim maka tidak lain itu adalah percikan api neraka maka hendaklah ia menanggungnya atau meninggalkannya.” (HR. Muslim)

Dalam dalil ini terdapat penjelasan bahwa para nabi kadang jatuh dalam kesalahan hanya saja mereka tidak membenarkan kesalahan tersebut. Ini adalah kebalikan dari apa yang diyakini Syiah tentang para imam mereka bahwa mereka tidak mungkin melakukan kesalahan, baik disengaja ataupun lalai.

* Bahwa keyakinan yang diakui oleh Syiah tentang para imam mereka, membawa mereka dalam hal-hal sebagai berikut :

* Setiap perkataan yang muncul dari para imam mereka yang dua belas adalah sama kedudukannya seperti firman Allah dan sabda Nabi. Oleh karena itu bahan rujukan mereka dalam hadits sanad-sanadnya kebanyakan berhenti pada salah satu imam mereka.

* Ketika mereka berselisih dan bersengketa maka mereka merujuk kepada perkataan imam mereka. Ini bertentangan dengan Al Qur’an di mana Allah telah berfirman :

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’ : 59)

*Berlebih-lebihan dalam kubur-kubur mereka dan menjadikannya tempat ziarah dan perayaan. Mereka menjadikan perbuatan ini sebagai dasar-dasar keyakinan mereka dan membuat bab-bab khusus tentang masalah ini dalam buku-buku dan karangan karangan mereka.

Pembaca, setelah mengetahui apa arti kemakshuman menurut mereka (Syiah) dan penyelisihan mereka dengan akidah yang benar, yakni akidah Salafus Shalih, masihkah dikatakan bahwa ‘ishmah termasuk masalah furu’ dalam akidah? Maha Suci Allah, ini adalah kebohongan yang besar!

Allah berfirman :“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya?” (QS. Al Ankabut : 68)

Allah juga berfirman : “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengadakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam.” (QS. As Shaff : 7)

Adapun tuduhannya bahwa hal-hal yang mendasar telah disepakati adalah dakwaan yang sangat jelas kebatilannya. Karena Syiah dan sekte-sektenya seperti Zaidiyah dan Ibadhiyah dan sebagainya mempunyai ushul yang berbeda dengan ushul Ahlus Sunnah, baik dalam hukum ataupun dalam akidah.

Dan telah disebutkan beberapa perbedaan Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah yang disebutkan Qaradhawi, maka aku tidak mengerti hal-hal mendasar apakah yang disepakati oleh Ahlus Sunnah dan Syiah menurut pemahaman Qaradhawi.

Seandainya apa yang dimaksud dengan hal mendasar tersebut adalah akidah maka ini tidak bisa diterima karena akidah Syiah dalam masalah Asma’ was Shifat diambil dari Mu’tazilah. Dalam masalah qadar dari Qadariah. Serta dalam masalah shahabat mereka mengkafirkan sekelompok besar dari sahabat, melaknat mereka, dan menuduh mereka dengan pelbagai kejahatan dan tidak bersandar (berpegang) dengan apa yang mereka riwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Dan seandainya ia bermaksud dengan assasiyat (hal-hal mendasar, asasi) adalah bahwa dasar-dasar Syiah yang dijadikan rujukan oleh mereka adalah dasar-dasar Ahlus Sunnah, itu sama batilnya dengan yang sebelumnya. Dasar-dasar Syiah bukanlah dasar-dasar Ahlu Sunnah! Dasar-dasar Ahlus Sunnah adalah Al Qur’an dan dua kitab shahih milik Bukhari-Muslim dan apa-apa yang shahih dari sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang dicatat oleh para ulama umat Islam seperti Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, Musnad Ahmad, dan kitab-kitab sunan yang lain.

Adapun Syiah tidak menjadikan semua ini sebagai dasar-dasar mereka. Tentang sikap mereka terhadap Al Qur’anul Karim, adapun penganut Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan bahwa Al Qur’an sudah diselewengkan sedangkan Al Qur’an yang sempurna adalah yang diturunkan kepada Fatimah setelah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Mereka menamakannya Al Qur’an yang lain itu Mushaf Fatimah dan ini diakui dalam kitab-kitab Syiah Imamiyah serta dijelaskan secara terang-terangan. Seperti dalam kitab Al Kaafi milik Al Kailani dan lain sebagainya. Orang-orang ini (Syiah) tidaklah memahami Al Qur’an dengan pemahaman shahabat bahkan mereka menakwilnya dengan takwilan batiniyah sebagaimana yang sudah dikenal dari mereka.

Pembaca, setelah Anda mengetahui penyelisihan Syiah dengan Ahlus Sunnah dalam masalah akidah dan dalam dasar-dasar rujukan, Anda mengerti bahwa tidak ada kata sepakat antara Ahlus Sunnah dan Syiah. Tuduhan Qaradhawi bahwa ada hal-hal mendasar yang disepakati adalah tuduhan sesat dan batil yang jelas serta merupakan pemutarbalikan fakta yang semua itu ditujukan dalam rangka dakwah taqrib (pendekatan) antara Syiah dan Sunnah, dakwah pendekatan antara tauhid dan syirik, petunjuk dan kesesatan, kegelapan dan cahaya, sunnah dan bid’ah! Dakwah yang berusaha mendekatkan kecintaan pada shahabat dan meneladani mereka dengan pelaknatan dan pencelaan terhadap mereka dan ajaran-ajaran syar’i yang mereka bawa. Dakwah yang mengupayakan penyatuan dua hal yang berlawanan!

Dakwah ini tidak bertujuan untuk mendekatkan Syiah kepada Sunnah, hal ini tidaklah diinginkan oleh Qaradhawi seperti apa yang diakuinya.

Katanya :Tidaklah diharapkan dari seorang yang bermadzhab Syiah untuk meninggalkan Syiahnya akan tetapi ajakan untuk pendekatan ... . Dan seterusnya.

Benarlah perkataan Syaikh Ihsan Ilahi Dzahir :

Maka menjauhlah persatuan yang didirikan dengan mengorbankan Islam dan celakalah persatuan yang dibangun atas dasar pencelaan terhadap Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya radliyallahu 'anhum.” (As Sunnah wasy Syiah halaman 7)

Benarlah perkataan Muhaddits masa kini, Syaikh Al Albaniy :

Jauh sekali kemungkinan pendekatan dan saling memahami bersama mereka (Syiah) bahkan setiap usaha untuk mencapainya akan gagal. Dan hanya pada Allah kita memohon pertolongan.” (Ad Dha’iifah, hadits nomor 1893)

Pembaca, ketahuilah bahwa pertentangan nyata terjadi antara Ahlus Sunnah dan Syiah.“Tidak ada jalan untuk menghapus perbedaan itu dan membenarkan upaya pendekatan antara Ahlus Sunnah dengan Syiah sementara mereka (Syiah-Rafidhah) masih terus bertahan dalam keganjilan mereka menjauhi jamaa’atul Muslimin. Dan tidaklah mungkin mempertemukan Ahlus Sunnah dan Syiah mencapai suatu hasil, apakah melalui acara dialog, diskusi atau muktamar-muktamar dalam rangka memhahas perselisihan kita dengan mereka dalam masalah dasar-dasar aqidah dan hukum (Dalam tanda kutip adalah perkataan penulis Kitab Masalah At Taqrib Baina As Sunnah wa Asy Syi’ah.) .

” Sesungguhnya orang-orang yang berjalan dalam rangka mendekati mereka dan berdakwah kepada yang demikian adalah para dai yang menyeru pada kesesatan dan penyimpangan dari jalan yang lurus!!


(Sumber : Kitab Raf'ul Litsaam 'An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari'atil Islaam, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari'at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari www.assunnah.cjb.net)