Thursday, January 22, 2009

Bukti Islam Memuliakan Wanita-Surah An-Nisaa'

Berbekal pengetahuan tentang Islam yang cetek, banyak di-kalangan mereka yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, dan kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan tidak berdasarkan kepada lunas-lunas Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah begitu?

Terlalu banyak bukti yang menunjukkan keberadaan wanita dalam Islam dimulaikan. Sehingga ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil)

Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء

"Hai sekalian manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu dari seorang diri (Adam), dan daripadanya dijadikan isterinya (Hawa), dan yang membiakkan dari keduanya lelaki dan perempuan yang ramai." (Surah An-Nisaa':1)

Ayat ini merupakan bahagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam 'alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)

Dalam hadits shahih disebutkan:
"Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bahagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau boleh bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan." (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Al-Imam An-Nawawi rahimahumallah berkata, dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha dan sebahagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah berfirman: ...yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya..., dan Rasulullah menerangkan dalam hadits diatas bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadist ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik pada mereka, dan bersabar atas mereka. (Al-Minhaj, 9/299).

Penjelasan secara perubatan ini menunjukkan bahwa antara laki-laki dan wanita mempunyai struktur dan jumlah tulang rusuk yang sama, dan karena pada bahagian ujungnya berupa tulang rawan maka mudah sekali patah apabila dibengkokkan (sesuai dengan hadits diatas).

2. Dijaganya hak perempuan yatim.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ
لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ
تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ

"Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim (perempuan), maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu berkenan dari perempuan (lain): dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu bimbang tidak akan berlaku adil maka (berkahwinlah dengan) seorang sahaja,atau (kahwinilah) hamba-hamba perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat supaya kamu tidak melakukan kezaliman. " (Surah An-Nisaa: 3)

Sebab turunnya ayat di atas :

Di sana ada beberapa sebab diturunkannya ayat di atas, diantaranya, yang paling kuat adalah apa yang diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair ketika beliau bertanya kepada Aisyah ra, tentang ayat tersebut : وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَ maka Aisyah Radhiyallahu 'Anha menjawab, Wahai anak saudaraku , ini diturunkan kepada anak perempuan yatim, yang hidup di rumah walinya, dia ikut makan harta walinya tersebut, dan kebetulan walinya juga mengincar harta anak yatim tadi dan terpesona dengan kecantikannya, wali tersebut hendak menikahinya tapi tidak mau berbuat adil di dalam memberikan maharnya , dia ingin memberikan mahar sama dengan mahar perempuan- perempuan lainnya, maka Allah melarang untuk menikahinya kecuali kalau bisa berbuat adil di dalam memberikan mahar yang sederajat dengannya, dan memerintahkan untuk menikahi perempuan selainnya." Berkata Urwah , berkata Aisyah: “ Sesungguhnya para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu A'alaihi wa Sallam setelah ayat ini, sehingga Allah menurunkan ayat:
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاء

"Dan mereka meminta fatwa kepadamu, mengenai kaum perempuan." (Surah An-Nisaa: 127)

Berkata Aisyah : “ Adapun firman Allah:

وَتَرْغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ


“dan yang kamu suka/ingin berkahwin dengan mereka…” (Surah An-Nisaa:127)

Artinya jika salah satu dari kamu tidak mau menikahi anak yatim asuhannya, karena sedikit hartanya dan tidak cantik. Berkata Aisyah : Maka mereka dilarang menikahi anak yatim jika hanya mengejar kecantikan dan hartanya , kecuali kalau berbuat adil . Hal itu dikarenakan mereka tidak mau menikahinya jika mereka tak cantik dan sedikti hartanya.“

Dalam menanggapi ayat di atas ada beberapa perbezaan pandangan :

Syekh Muhammad Thahir Asyur di dalam tafsirnya menguatkan apa yang dikatakan Aisyah ra . Sebelumnya, Ibnu Katsir, walaupun tidak terus terang, beliau cenderung juga untuk membenarkan riwayat Aisyah ini, dengan bukti bahwa hanya riwayat ini saja yang diungkapkan dalam tafsirnya dan menganggapnya riwayat yang paling shahih, padahal di sana ada riwayat- riwayat lain. (Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al Adhim)

Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berlaku adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)

Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu 'anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:


وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاء قُلِ اللّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى
عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاء الَّلاتِي لاَ
تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ

"Dan mereka meminta fatwa kepadamu, mengenai kaum perempuan. Katakanlah olehmu Allah akan memberi keterangan kepada kamu mengenai mereka dan apa yang selalu dibacakan kepada kamu dalam Kitab mengenai perempuan-perempuan yatim yang kamu tidak memberi kepadanya apa yang telah ditetapkan menjadi hak mereka, dan yang kamu suka berkahwin dengan mereka." (Surah An-Nisaa: 127)

Aisyah Radhiyallahu 'Anha berkata:

“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berkongsi dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim nanti ikut berkongsi dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

"Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki." (An-Nisa`: 3)

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:


وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ
تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ
وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا

"Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu sekalipun kamu bersungguh-sungguh; oleh itu janganlah kamu cenderung dengan melampau-lampau sehingga kamu biarkan isteri yang lain seperti benda yang tergantung; dan jika kamu memperbaiki dan memelihara diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani." (Surah An-Nisaa: 129)


Maka dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tabiat manusia itu sendiri sesuai dengan sifat yang diciptakannya tidak akan dapat mengendalikan kecintaannya kepada sebahagian orang saja. Penafsiran semacam ini di dukung dengan dengan hadits Rasulullah saw , ketika beliau berdo’a kepada Allah mengadu tentang perbuatannya selama ini di dalam berpoligami : “ Ya Allah inilah pembahagian saya ( kepada isteri- isteriku ) yang dapat saya lakukan, maka janganlah Engkau cela aku pada hal- hal yang Engkau mampu sedang saya tidak mampu ( iaitu kecintaan di dalam hati ) (HR Abu Daud , Tirmidzi , Nasai, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Al Hakim dan Ibnu Hibban . Imam Al Hakim berkata : “ Hadist ini shohih berdasarkan syarat yang telah di tetapkan Imam Muslim dan di setujui oleh Ad Dzahabi)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, "Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara isteri-isteri kalian dari segala sisi. Karena walaupun dapat terjadi pembahagian giliran malam ke malam, namun mesti ada perbezaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah."


Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari isteri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara sepenuh dengan padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ "sehingga kalian biarkan yang lain telantar." Maksudnya isteri yang lain menjadi terkontang-kanting". Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, "Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak." (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)


Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

4. Hak memperoleh mahar (mas kahwin) dalam pernikahan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ
مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا


"Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskahwin mereka sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka memberikan kepada kamu dengan suka hatinya sebahagian dari maskahwinnya maka makanlah (gunakanlah) pemberian (yang halal) itu sebagai nikmat yang lazat, lagi baik kesudahannya." (Surah An-Nisaa: 4)

5. Wanita diberikan bahagian dari harta warisan

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


لِّلرِّجَالِ نَصيِبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ
وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ
مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَّفْرُوضً

"Orang lelaki ada bahagian pusaka dari peninggalan ibu bapa dan kerabat, dan orang perempuan ada bahagian pusaka dari peninggalan ibu bapa dan kerabat, sama ada sedikit atau banyak dari harta yang ditinggalkan itu; iaitu bahagian yang telah diwajibkan (dan ditentukan oleh Allah)." (Surah An-Nisaa:7)

Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bahagian. Malah wanita terpaksa memberi bahagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُواْ النِّسَاء كَرْهًا

"Wahai orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi wanita-wanita dengan jalan paksaan..." (Surah An-Nisaa:19)


Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'Anhuma menyebutkan, "Dulunya bila seorang suami di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi isterinya. Jika sebahagian ahli waris itu setuju, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka setuju, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau setuju juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)

Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bahagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:


يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ

"Allah perintahkan kamu mengenai (pembahagian pusaka untuk) anak-anak kamu, iaitu bahagian anak lelaki menyamai bahagian dua orang anak perempuan." (Surah An-Nisaa: 11)


Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bahagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki memerlu bekalan yang lebih untuk kegunaan memberi nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki yang banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar (mas kahwin) dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bahagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada isterinya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ


"Dan bergaullah dengan mereka secara baik." (Surah An-Nisaa: 19)


Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: "Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para isteri) dan perbaikkan perbuatan serta penampilan kalian sesuai dengan kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (isteri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama." Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam hal ini:


وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan para isteri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf." (Surah Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sendiri telah bersabda:


خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (isteri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (isteri-isteri)ku." (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

7. Suami tidak boleh membenci isterinya dan tetap harus berlaku baik terhadap isteri walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

"Kemudian jika kamu bencikan mereka, kerana mungkin kamu bencikan sesuatu,sedang Allah hendak menjadikan pada apa yang kamu benci itu kebaikan yang banyak (untuk kamu). " Surah An-Nisaa:19)


Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: "Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ ("Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka"), disebabkan parasnya yang buruk atau perangainya yang tak baik, bukan karena si isteri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rezeki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari isteri tersebut."


Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para isteri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat". Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'Anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) isteri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan rezeki kepadanya berupa anak dari isteri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’." (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)


Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ


"Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (boleh jadi) ia readha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain." (HR. Muslim no. 1469)


Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci isterinya. Kerana bila ia menemukan pada isterinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia boleh mendapatkan perangai yang disenanginya pada si isteri. Misalnya isterinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya." (Al-Minhaj, 10/58)

8. Bila seorang suami bercerai dengan isterinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar (mas kahwin) yang pernah diberikannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ
قِنطَارًا فَلاَ تَأْخُذُواْ مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَاناً وَإِثْماً مُّبِيناً
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ
وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظً


"Dan jika kamu hendak mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu telah pun memberikan kepada seseorang di antaranya harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil sedikitpun dari harta itu. Patutkah kamu mengambilnya dengan cara yang tidak benar dan dosa yang nyata? Dan bagaimana kamu tergamak mengambil balik pemberian itu padahal kasih mesra kamu telah terjalin antara satu dengan yang lain, dan mereka pula ( isteri-isteri kamu itu) telahpun mengambil perjanjian yang kuat daripada kamu?. " (Surah An-Nisaa: 20-21)

9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita kerana nasab (pertalian keluarga) ataupun kerana penyusuan untuk menikahinya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي
أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي
دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ
الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
"Diharamkan kepada kamu berkahwin dengan (wanita-wanita berikut): ibu-ibumu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, saudara-saudara bapamu, dan saudara-saudara ibumu, anak-anak saudaramu yang lelaki, anak-anak saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang telah menyusukan kamu, saudara-saudara susuanmu, ibu-ibu isterimu, anak-anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari isteri-isteri yang kamu telah campuri; tetapi kalau kamu belum campuri mereka, maka tiadalah salah kamu mengahwininya. Dan bekas isteri anak-anakmu sendiri yang berasal dari benih kamu. Dan menghimpunkan dua beradik (untuk dikahwini), kecuali yang berlaku di masa lalu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. " (Surah An-Nisaa:23)

Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

"(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Surah An-Nisa`: 23)

Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mempunyai dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan kerana hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisaa` yang menyentuh tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufik. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Di-edit oleh: HAR

Tuesday, January 20, 2009

Yoga hanya senaman kenyataan mengelirukan

Oleh Ustaz Zakaria Othman, Exco Penerangan dan Penerbitan PKPU, Jakim.

KETEGASAN kepemimpinan terhadap beberapa pihak yang mempertikai fatwa pengharaman yoga oleh Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan memperlihatkan kesungguhan memberi kefahaman kepada masyarakat mengenai penyelewengan akidah melalui yoga.

Namun, tidak dinafikan sesetengah kita ternyata masih keliru dengan penggunaan mantera dalam yoga. Mereka cuba mengasingkan senaman yoga dan mantera. Lalu membuat justifikasi, senaman yoga tanpa mantera adalah halal kerana ia sekadar amalan fizikal yang membawa kebaikan untuk kesihatan pengamalnya.

Kenyataan itu mengelirukan dan perlu dibincang secara ilmiah supaya semua pihak jelas dengan sesuatu hukum berkaitan. Sebenarnya, isu yoga bukan sekadar kebergantungan kepada mantera dan produk kesihatannya, tetapi senaman itu terdiri daripada pelbagai instrumen keagamaan Hindu.

Buktinya, “Sesungguhnya tempat duduk diri adalah hati …. sesungguhnya secara bertahap sampai ke realisasi ini naik ke langit. Inilah yang disebut diri. Ia abadi. Ialah Brahma. Sesungguhnya ada tiga suku kata: Sat - ti - yam ..” Di sini ada benteng bernama Aparjitah; dan ada apartmen emas Tuhan ….’ (rujuk The Chandogya Upanishad halaman 288 - 289)

Dalam kitab Upanishad disebutkan: “Tuhan meliputi semua diameter syurga. Dia lahir daripada keabadian. Dia ada di dalam rahim. Dia sudah dilahirkan dan akan dilahirkan.” (Upanishad 424)

Berdasarkan keterangan di atas, jelas kepada kita senaman ini berasal daripada kepercayaan Hindu. Ia bukan sekadar kedudukan biasa, sebaliknya mempunyai prinsip teologi tersendiri dalam agama Hindu. Pengamalnya melakukan senaman sedemikian berdasarkan kepercayaan demi mencapai maksud tertentu. Walau dilihat dalam bentuk duduk atau senaman, formasi berkenaan sinonim dengan amalan keagamaan Hindu.

Jika jelas senaman atau formasi yoga sinonim dengan keagamaan Hindu, maka umat Islam ditegah daripada mengamalkannya. Ketentuan itu berdasarkan sabda Nabi SAW yang bermaksud: “Sesiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka seseorang itu terdiri daripada kalangan mereka (kaum berkenaan).”

Penyamaan dalam hadis itu merujuk asal usul fahaman, perbuatan dan pegangan. Jika ada sebarang perkataan, perbuatan dan pegangan Muslim menyerupai doktrin Yahudi, Kristian, Hindu, Buddha dan lain-lain, ia dikira tergolong ke dalam golongan mereka.

Penyamaan dalam bentuk kepercayaan disusuli dengan perbuatan secara langsung adalah haram yang ditetapkan secara ijmak.

Hadis itu juga secara tidak langsung menggambarkan kepada kita umat Islam perlu kekal dengan identiti dan jati diri mereka sebagai Muslim. Mereka dilarang menyerupai golongan Musyrikin disebabkan akidah Muslim terangkum tiga dimensi iaitu perkataan, perbuatan dan pegangan.

Justeru, jika umat Islam tidak membaca mantera sekalipun tidak semestinya yoga halal kerana formasi dan senaman itu adalah simbolik yang sinonim dengan doktrin kepercayaan Hindu dan Islam menegah umatnya melakukan acara berteraskan kepada kepercayaan agama lain.

Ada juga pihak yang cuba menghalalkan yoga atas alasan ia produk kesihatan untuk pengamalnya. Hujah ini boleh disanggah dengan beberapa kriteria:

1. Asal usul yoga adalah daripada keagamaan Hindu. Sama ada diamalkan sedikit, juzuk tertentu atau sebahagian ia tetap haram kerana Islam tidak membenarkan umatnya menyerupai upacara keagamaan lain.

Nabi SAW bersabda yang bermaksud: “Perkara yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.” Jika senaman ini jelas berlatarbelakangkan keagamaan Hindu, mengapa pula ia ingin diamalkan orang Islam? Bolehkah umat Islam mencantum pegangan Islamnya dengan amalan Hindu? Jawabnya, tidak sama sekali. Sabda Nabi SAW yang bermaksud: “Sesiapa yang melakukan tokok tambah dalam urusan kami (agama) nescaya tertolak.”

2. Kaedah fiqhiyyah menyebut, asal pada percakapan (kalam) adalah hakikat. Oleh itu, mari kita sama-sama memahami apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan yoga?

3. Kamus Dewan (edisi keempat) menyatakan yoga ialah sistem falsafah Hindu yang bertujuan menyatukan diri dengan tuhan dengan mengheningkan fikiran (bertafakur) melalui beberapa senaman gerak badan dan fikiran. Ia juga membawa maksud senaman pelbagai cara untuk menenangkan fikiran seperti bertafakur, terutama satu siri senaman gerak badan yang bertujuan mewujudkan keadaan badan dan fikiran yang sihat.

4. Menurut sebuah ensiklopedia, yoga merujuk kepada disiplin tradisional berkaitan fizikal dan mental yang berasal dari India; matlamat yang dicapai melalui disiplin ini; dan satu daripada enam fahaman ortodoks (astika) dalam falsafah Hindu. Istilah yoga dalam bahasa Sanskrit, berasal daripada kata yuj, memberikan banyak makna seperti mengawal, menggalas dan menyatukan. Terjemahannya termasuk bergabung, bersatu, kesatuan, penghubung, jalan atau cara.

5. Yoga dikatakan mempunyai beberapa cabang antaranya Raja Yoga, Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga dan Hatha Yoga. Sebenarnya, banyak teks Hindu membincangkan aspek yoga, termasuk Veda, Upanishad, Bhagavad Gita, Hatha Yoga Pradipika, Shiva Samhita dan pelbagai Tantra.

Kesimpulannya, jika diketahui hakikat yoga sinonim dengan Hindu itu diharamkan, Islam pula menggariskan dengan kaedah: “Sesuatu yang haram dilakukan, haram pula untuk dituntut” atau “sesuatu yang haram diambil, haram pula untuk diberikan.”

“Apabila berhimpun perkara yang halal dan haram, maka dimenangkan yang haram ke atas yang halal.” Kaedah ini boleh diguna pakai merangkumi perbuatan yang sedikit, juzuk tertentu atau sebahagian daripada pengharaman berkenaan. Justeru, kandungan mantera saja bukan menggambarkan keseluruhan yoga. Dalam Islam, hukum diputuskan tidak diambil secara juz’iyyah, bahkan turut merangkumi keseluruhan sesuatu pengertian. Oleh itu, mantera dan amalan kesihatan bukan alasan untuk menghalalkan yoga.

Sebahagian masyarakat Muslim hari ini terbabas dalam masalah ini. Masyarakat yang tandus agama mudah saja menyimpulkan sesuatu perkara dengan rasionalisme mereka. Akhirnya, mereka cuba memahami yoga melalui pendekatan liberal. Asal rasional, ia dilihat baik, maka ia dibolehkan.

Mereka sebenarnya lupa ‘matlamat tidak menghalalkan cara’. Ketahuilah, bahawa yoga tidak boleh ditetapkan dengan unsur rasional akal semata-mata. Jika ditetapkan sesuatu berdasarkan rasional akal semata-mata, ternyata kita mendahului akal berbanding naqal.

Penetapan itu dijelaskan Imam al-Syafie: “Sesiapa yang menganggap baik sesuatu perkara (yang tidak jelas) dia sebenarnya sudah meletakkan hukum syarak.” Penetapan hukum secara seperti ini ditegah Islam kerana anda sudah mendahului penetapan nas syarak.

Selain itu, senario menghalalkan sesuatu yang jelas haram juga boleh dikatakan sebagai satu tokok tambah dalam agama. Amalan yang direka cipta tidak berdasarkan ketentuan syarak. Bahkan bertentangan petunjuk syarak dikira sebagai reka cipta yang sesat atau bidah dholalah.

Amalan itu dianggap bidah dholalah (reka cipta yang sesat) kerana bukan daripada Islam. Bahkan bertentangan dengan Islam. Justeru, dalam kes ini, umat Islam wajib menjauhi amalan yoga serta- merta kerana ia bukan dari Islam dan bertentangan dengan Islam.

Tidak hairanlah jika Majlis Agama Islam Singapura (MUIS) mengeluarkan fatwa mengenai yoga dengan mengklasifikasikannya perkara bidaah yang menyesatkan.

Sedarlah bahawa Islam agama yang lengkap dan sempurna menawarkan pelbagai produk untuk kesihatan manusia sama ada sudut fizikal, mental, mahupun spiritual. Namun apabila manusia gagal memahami dan mengenali Islam dengan mata hati yang suci, maka pemahaman Islam mereka dicampuri pelbagai unsur luar.

Akhirnya, ummah terjebak dengan pelbagai amalan karut bertentangan Islam dalam keadaan tidak sedar. Lebih menyedihkan apabila ada pihak menubuhkan kelab eksklusif berasaskan yoga dan menjadikannya sumber pendapatan. Apakah kita mahu rezeki yang mengalir dalam urat nadi daripada sumber haram? Fikirkanlah.

Kebimbangan serius ini menjadi aliran masyarakat kita hari ini. Apabila sesuatu fatwa diputuskan terhadap sesuatu perkara, ada kelompok masyarakat bangun membantah. Golongan itu tidak segan silu melaungkan penentangan terhadap fatwa yang diputuskan ulama berdasarkan kajian mendalam. Mereka yang bersikap seperti ini persis pemimpin jahiliah kuno.

Apabila sesuatu keputusan Allah dan Rasul-Nya dilihat bersesuaian, mereka mendabik dada bangga. Apabila keputusan bertentangan selera nafsu, mereka mencari pelbagai alasan menentang keputusan berkenaan. Oleh itu, umat Islam perlu sedar keadaan ini bahkan perlu bangkit mempertahankan identiti dan jati diri Islam.

Meneliti beberapa pandangan masyarakat mengenai yoga yang diharamkan, ada antaranya menyatakan mereka beramal dengan senaman yoga, melakukan beberapa amalan senaman seperti membakar colok, membaca mantera dan pergerakan yoga, tetapi hati tetap percaya kepada Allah serta mendakwa akidah mereka masih utuh dan tidak terpesong.

Sebenarnya, mereka sudah menyekutukan Allah dalam keadaan tidak sedar. Inilah natijahnya apabila umat Islam dangkal mengenai pegangan ilmu tauhid. Sebagai Muslim, kita patut bersyukur kerana masih ada ulama dan agensi agama yang mengambil berat pegangan akidah umat Islam. Kita harus menyokong hukum yang memang bertujuan menjaga maslahah umum.

Tidak ada satu pun hukum yang dikeluarkan mengongkong hak manusia. Sebaliknya setiap hukum dikeluarkan Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan yang dianggotai kalangan mereka yang mempunyai kepakaran dalam bidangnya adalah untuk kebaikan ummah.

Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) yang bertindak secara proaktif sudah menjalankan kajian terhadap amalan yoga sehingga berjaya dibentangkan pada Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan baru-baru ini.

Walaupun keputusan itu mendatangkan pelbagai reaksi kurang enak, sebenarnya Jakim berjaya menyentak pemikiran masyarakat dengan hukum kontemporari yang berani. Dalam menangani isu ini, kita perlu bijak bertindak.

Muzakarah pada peringkat negeri perlu disegerakan dan diwartakan fatwa berkenaan dalam bidang kuasa masing-masing. Pewartaan pula membolehkan kita menguatkuasakan undang-undang berdasarkan enakmen sedia ada.


(Penulis ialah Exco Penerangan dan Penerbitan Persatuan Kakitangan Perkhidmatan Agama (PKPU)

Jabatan Kemajuan Islam Malaysia)

Date: Tuesday, January 13th, 2009


TAMBAHAN

Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salah satu bentuk kasih sayang Allah terhadap manusia adalah tidak membiarkan manusia dalam kegelapan dalam masalah halal dan haram. Semua yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas.


Allah SWT telah menegaskan hal ini di dalam kitab-Nya:


"Dan sungguh Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia haramkan atas kamu." (QS. Al-An''am: 119)


Di samping itu Rasulullah SAW juga pernah bersabda tentang masalah ini:

"Yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, di antara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas (syubhat), banyak orang yang tidak tahu: apakah dia itu masuk bahagian yang halal atau yang haram? Maka barangsiapa yang menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya, maka dia akan selamat. Dan barangsiapa mengerjakan sedikitpun daripadanya hampir-hampir ia akan jatuh ke dalam haram, sebagaimana orang yang menggembala kambing di sekitar daerah larangan, dia hampir-hampir akan jatuh kepadanya. Ingatlah! Bahwa tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan. Ingat pula, bahwa daerah larangan Allah itu ialah semua yang diharamkan." (Riwayat :Bukhari, Muslim dan Tarmizi, dan riwayat ini adalah lafal Tarmizi).

Masalah halal yang sudah jelas, boleh saja dikerjakan. Dan soal haram pun yang sudah jelas, sama sekali tidak ada rukhsah untuk mengerjakannya, selama masih dalam keadaan normal.

Namun ternyata memang tidak semua masalah jelas kehalalan dan keharamannya. Faktornya boleh jadi banyak sekali. Salah satunya keawaman seseorang atau kurangnya informasi yang dimiliki atas suatu hal.

Maka dalam hal ini, masalah yang belum jelas informasi, apakah halal atau haram, dikenal dengan istilah syubhat. Intinya bila suatu persoalan tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia.

Hal ini boleh terjadi mungkin kerana tasyabbuh (tidak jelasnya) dalil dan mungkin kerana tidak jelasnya jalan untuk menerapkan nas (dalil) yang ada terhadap suatu peristiwa.

Sikap Hati-hati dalam Masalah Syubhat

Terhadap persoalan yang belum jelas halal haramnya ini, syariatIslam memberikan suatu garis yang disebut wara'', iaitu suatu sikap berhati-hati karena takut berbuat haram.

Dengan sifat itu seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat, sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang haram.

Cara semacam ini termasuk menutup jalan berbuat maksiat, para ulama ushul menyebutkannya dengan istilahsaddudz dzara''i.

Bagaimana mendapat keadilan dan objektif untuk menilai suatu masalah, kalau belum apa-apa sudah dikunci bahwa yoga itu sangat penting dan tidak ada alternatif lain?

Benarkah hanya yoga satu-satunya olah raga yang paling baik? Benarkah di dunia itu tidak ada jenis oleh raga lainnya yang sebaik yoga? Dan yang paling penting, yakinkah kita bahwa yoga itu 100% tidak mengandung unsur ghaib dan mistis?

Tentu bukan kemampuan kita untuk memvonis secara sembarangan tentang hukum yoga. Sebab sepanjang yang kita ketahui, yoga itu punya begitu banyak aliran. Ada yang pakai ilmu ghaib dan ada juga yang mengaku tidak pakai yang begitu. Semua masih tidak jelas, karena itu kita masih cenderung memasukkannya ke dalam kategori syubhat.

Setidaknya syubhat dalam pandangan kita yang awam dan kurang wawasan. Barangkali ada pembaca lain yang punya informasi lengkap tentang yoga, silahkan sampaikan.

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc