Saturday, January 17, 2009

Hukum untuk orang yang meninggalkan shalat bhg.1

PASAL PERTAMA
HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT

Masalah ini termasuk salah satu masalah ilmu yang amat besar, diperdebatkan oleh para ulama dahulu dan sekarang.

Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan :“ orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.

Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeza pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.

Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

"Dan apa jua perkara yang kamu berselisihan padanya maka hukum pemutusnya terserah kepada Allah; Demikian itulah Allah Tuhanku; kepada-Nyalah aku berserah diri dan kepada-Nyalah aku rujuk kembali. " (Surah Asy-Syuura:10)

Dan Allah Ta'ala juga berfirman :

شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

"Jika kamu berselisih dalam sesuatu perkara, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu), dan lebih elok pula kesudahannya. " (Surah An-Nisaa':59)

Oleh karena masing masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain, sebab masing masing pihak menganggap bahawa dialah yang benar, sementara tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib kembali kepada juri penentu diantara keduanya, iaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.

Kalau kita kembalikan perbezaan pendapat ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan kita dapatkan bahwa Al-Qur’an maupun As-Sunnah keduanya menunjukkan bahawa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar dari islam.

PERTAMA : DALIL DARI AL QUR’AN :

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalam surat At-Taubah :

فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي
الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

"Oleh itu, jika mereka bertaubat (dari kekufuran), dan mendirikan sembahyang serta memberi zakat, maka mereka itu adalah saudara kamu yang seagama; dan Kami menjelaskan ayat-ayat keterangan Kami satu persatu bagi kaum yang mahu mengetahui" (Surah At-Taubah:11)

Dan dalam surat Maryam, Allah berfirman :

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا

"Kemudian mereka digantikan oleh keturunan yang mencuaikan sembahyang serta menurut hawa nafsu; maka mereka akan menghadapi kebinasaan. Kecuali orang yang bertaubat dan beriman serta beramal salih, maka mereka akan masuk Syurga, dan mereka pula tidak dikurangkan pahalanya sedikit pun. " (Surah Maryam: 59-60)

Relevansi ayat kedua, iaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa Allah berfirman tentang orang orang yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya :” kecuali orang yang bertaubat, beriman …”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.

Dan relevansi ayat yang pertama, iaitu yang terdapat dalam surat At Taubah, bahawa kita dan orang orang musyrik telah menentukan tiga syarat :

· Hendaklah mereka bertaubat dari syirik.
· Hendaklah mereka mendirikan shalat, dan
· Hendaklah mereka menunaikan zakat.

Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita.

Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama dengan kita.

Persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika seseorang keluar secara keseluruhan dari agama ; tidak dinyatakan hilang atau tidak ada karena kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya.

Cubalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam ayat Qishash karena membunuh :

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

"Maka sesiapa yang mendapat keampunan dari saudaranya, maka hendaklah (pengampun) mengikut cara yang baik, dan (pesalah) pula membayar (diat) dengan sebaik-baiknya."
(Surah Al-Baqarah: 178)

Dalam ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aala menjadikan orang yang membunuh dengan sengaja sebagai saudara orang yang dibunuhnya, padahal pidana membunuh dengan sengaja termasuk dosa besar yang sangat berat hukumannya, Karena Allah Subhaanahu wa ta’aala berfirman :

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

"Dan sesiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahanam, kekal ia di dalamnya, dan Allah murka kepadanya dan melaknatkannya serta menyediakan baginya azab seksa yang besar." ( Surah An-Nisaa': 93)

Kemudian cubalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang dua golongan dari kaum mu’minin yang berperang :

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي
حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

"Dan jika dua puak dari orang yang beriman berperang, maka damaikanlah di antara keduanya; jika salah satunya berlaku zalim terhadap yang lain, maka lawanlah puak yang zalim itu sehingga ia kembali mematuhi perintah Allah; jika ia kembali patuh maka damaikanlah keduanya dengan adil, dan berlaku adillah kamu; sesungguhnya Allah mengasihi orang yang berlaku adil."
( Surah Al-Hujuraat: 9)

Di sini Allah subhaanahu wa ta’aala menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua pihak yang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

" سباب المسلم فسوق وقتاله كفر ".

“Menghina seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”

Namun kekafiran ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan keluar dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang mereka masih saudara seiman.

Dengan demikian jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekafiran yang sederhana tingkatannya ( yang tidak menyebabkan keluar dari Islam ) maka persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.

Jika ada pertanyaan : apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat At Taubah tersebut ?

Jawapannya adalah : orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad Rahimahullah.

Akan tetapi pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir, namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadith-hadith Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, seperti hadith yang dituturkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam ketika menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan dibahagian akhir hadith :

" ثم يرى سبيله إما إلى الجنة وإما إلى النار ".

“ … Kemudian ia akan melihat jalannya, menuju ke shurga atau ke neraka.”

Hadith ini diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab “dosa orang yang tidak mau membayar zakat”.

Ini adalah dalil yang menunjukkan bahawa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi kafir, sebab andaikata menjadi kafir, tidak akan ada jalan baginya menuju shurga.

Dengan demikian manthuq (yang tersurat) dari hadith ini lebih didahulukan dari pada mafhum ( yang tersirat ) dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah tadi, karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa manthuq lebih didahulukan dari pada mafhum.

KEDUA : DALIL DARI AS SUNNAH :

1- Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam bersabda :

" إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة ".

Sesungguhnya ( batas pemisah ) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim, dalam kitab al iman ).

2- Diriwayatkan dari Buraidah bin Al Hushaib radhiallahu ‘anhu, ia berkata : aku mendengar
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

" العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر ".

Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya maka benar benar ia telah kafir.” ( HR. Abu Daud, Turmudzi, An Nasai, Ibnu Majah dan Imam Ahmad ).

Yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini dapat diketahui secara jelas bahwa aturan kafir tidak sama dengan aturan Islam, karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk golongan orang kafir.

3- Diriwayatkan dalam shoheh Muslim, dari Ummu Salamah Radliallahu anha, bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

“Akan ada para pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan menolak kemungkaran kemungkaran yang dilakukan, barang siapa yang mengetahui bebaslah ia, dan barang siapa yang menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, ( tidak akan selamat ), para sahabat bertanya : bolehkah kita memerangi mereka ?, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab :” Tidak, selama mereka mengerjakan shalat.”

4- Diriwayatkan pula dalam shahih Muslim, dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu ia berkata :

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

“Pemimpinmu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan merekapun menyukaimu, serta mereka mendoakanmu dan kamupun mendoakan mereka, sedangkan pemimpinmu yang paling jahat adalah mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu melaknati mereka dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya : ya Rasulallah, bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang ?, beliau menjawab :” tidak, selama mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.”

Kedua hadith yang terakhir ini menunjukkan bahawa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kakafiran yang nyata, yang dapt kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti, berdasarkan hadith yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu :

“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mengajak kami, dan kamipun membaiat beliau, diantara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan ( kepemimpinan ) ini, sabda beliau :” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang terangan yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”

Atas dasar ini, maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka dengan pedang adalah kekafiran yang terang terangan yang boleh kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti.

Tidak ada satu nash pun dalam Al-Qur’an ataupun As-Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. kalaupun ada hanyalah nash nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya, namun nash nash tersebut muqoyyad (dibatasi ) oleh ikatan-ikatan yang terdapat dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu difahami menurut dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari pada dalil yang umum.

Jika ada pertanyaan : apakah nash nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat itu tidak boleh diberlakukan pada orang yang meninggalkannya karena mengingkari hukum kewajibannya ?

Jawapan : tidak boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya.
Pertama : menghapuskan atribut yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai dasar hukum.
Allah telah menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya, Allah tidak berfirman :” jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam pun tidak bersabda :” batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah mengingkari kewajiban shalat”, atau “perjanjian antara kita dan mereka ialah pengakuan terhadap kewajiban shalat, barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir”.
Seandainya pengertian ini yang dimaksud oleh Allah subhaanahu wa ta’aala dan Rasul-Nya, maka tidak menerima pengertian yang demikian ini berarti menyalahi penjelasan yang dibawa oleh Al Qur’an.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an menjelaskan tiap-tiap sesuatu dan menjadi petunjuk, serta membawa rahmat dan berita yang menggembirakan bagi orang Islam. " (Surah An-Nahl:89)
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا
نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dengan membawa keterangan-keterangan dan Kitab-kitab Suci; dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkannya. (Surah An-Nahl: 44)
Kedua : menjadikan atribut yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai landasan hukum.
Mengingkari kewjiban shalat lima waktu tentu menyebabkan kekafiran bagi pelakunya, tanpa alasan karena tidak mengetahuinya, baik dia mengerjakan shalat atau tidak mengerjakannya.
Kalau ada seseorang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan melengkapi segala syarat, rukun, dan hal hal yang wajib dan sunnah, namun dia mengingkari kewajiban shalat tersebut, tanpa ada suatu alasan apapun, maka orang tersebut kafir, sekalipun dia tidak meninggalkan shalat.
Dengan demikian jelaslah bahwa tidak benar jika nash nash tersebut dikenakan pada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, yang benar ialah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkannya keluar dari Islam, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab Sunan, dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah berwasiat kepada kita :
“Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah kamu sengaja meninggalkan shalat, barang siapa yang benar benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam”.
Demikian pula jika hadith ini kita kenakan pada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka penyebutan kata “shalat” secara khusus dalam nash nash tersebut tidak ada gunanya sama sekali. Hukum ini bersifat umum, termasuk zakat, puasa, dan haji, barang siapa yang meninggalkan salah satu kewajiban tersebut karena mengingkari kewajibannya, maka ia kafir, jika tanpa alasan karena tidak mengetahui.
Karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir menurut dalil sam’i atsari ( Al Qur’an dan As Sunnah ), maka menurut dalil aqli nadzari ( logika ) pun demikian.
Bagaimana seseorang dikatakan mempunyai iman, sementara dia meninggalkan shalat yang merupakan sendi agama, dan pahala yang dijanjikan bagi orang yang mengerjakannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk segera melaksanakan dan mengerjakannya, serta ancaman bagi orang yang meninggalkannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk tidak meninggalkan dan melalaikannya. Dengan demikian, apabila seseorang meninggalkan shalat, berarti tidak ada lagi iman yang tersisa pada dirinya.
Jika ada pertanyaan : apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan shalat tidak dapat diartikan sebagai kufur ni’mat, bukan kufur millah ( yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya dibawah kufur akbar, seperti kekafiran yang disebutkan dalam hadits dibawah ini, yang mana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
“Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu : mencela keturunan dan meratapi orang mati”.
“Menghina seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran”.
Jawapan : pengertian seperti ini dengan mengacu pada contoh tersebut tidak benar, karena beberapa alasan :
Pertama : bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam telah menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara kekafiran dan keimanan, antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan batas ialah yang membezakan apa saja yang dibatasi, serta memisahkannya dari yang lain, sehingga kedua hal yang dibatasi berlainan, dan tidak bercampur antara yang satu dengan yang lain.
Kedua : shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyebutan kafir terhadap orang yang meninggalkannya berarti kafir dan keluar dari Islam, karena dia telah menghancurkan salah satu sendi Islam, berbeda halnya dengan penyebutan kafir terhadap orang yang mengerjakan salah satu macam perbuatan kekafiran.
Ketiga : di sana ada nash nash lain yang menunjukkan bahwa oang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yang dengan kekafirannya menyebabkan ia keluar dari Islam.
Oleh karena itu kekafiran ini harus difahami sesuai dengan arti yang dikandungnya, sehingga nash nash itu akan sinkron dan harmonis, tidak saling bertentangan.
Keempat : penggunaan kata kufur berbeza-beza, tentang meninggalkan shalat beliau bersabda :
" إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة "
“Sesungguhnya ( batas pemisah ) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim, dalam kitab al iman ).
Di sini digunakan artikel “ al ”, dalam bentuk ma’rifah ( definite ), yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kekafiran yang sebenarnya, berbeza dengan penggunaan kata kufur secara nakirah ( indefinite ), atau “kafara” sebagai kata kerja, atau bahwa dia telah melakukan suatu kekafiran dalam perbuatan ini, bukan kekafiran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang bernama Iqtidha ashshirath al mustaqim cetakan As Sunnah al Muhammadiyah, hal 70, ketika menjelaskan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam : اثنان في الناس هما بهم كفر ... ”
Ia mengatakan : sabda Nabi “ Keduanya merupakan kekafiran” artinya : kedua sifat ini adalah suatu kekafiran yang masih terdapat pada manusia, jadi, kedua sifat ini adalah suatu kekafiran, karena sebelum itu keduanya termasuk perbuatan perbuatan kafir, tetapi masih terdapat pada manusia.
Namun, tidak berarti bahwa setiap orang yang terdapat pada dirinya salah satu bentuk kekafiran dengan sendirinya menjadi kafir karenanya secara mutlak, sehingga terdapat pada dirinya hakekat kekafiran. Begitu pula, tidak setiap orang yang terdapat dalam dirinya salah satu bentuk keimanan dengan sendirinya menjadi mu’min.
Penggunaan kata “ Al Kufr ” dalam bentuk ma’rifah ( dengan artikel “ al”) sebagaimana disebut dalam sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam :
إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
“Sesungguhnya ( batas pemisah ) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim, dalam kitab al iman ).
Berbeza dengan kata “ Kufr ” dalam bentuk nakirah ( tanpa artikel “ al ” ) yang digunakan dalam kalimat positif.
Apabila sudah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari Islam, berdasarkan dalil-dalil ini, maka yang benar adalah pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang juga merupakan salah satu pendapat Imam Asy Syafii, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا
"Kemudian mereka digantikan oleh keturunan yang mencuaikan sembahyang serta menurut hawa nafsu; maka mereka akan menghadapi kebinasaan. Kecuali orang yang bertaubat dan beriman serta beramal salih, maka mereka akan masuk Syurga, dan mereka pula tidak dikurangkan pahalanya sedikit pun." (Surah Maryam: 59-60)
Disebutkan pula oleh Ibnu Al Qoyyim dalam “ Kitab Ash Shalat ” bahwa pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada dalam madzhab Syafi’i, Ath-Thahaqi pun menukilkan demikian dari Imam Syafii sendiri.
Dan pendapat inilah yang dianut oleh kebanyakkan para sahabat, bahkan banyak ulama yang menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan ijma’ (consensus) para sahabat.
Abdullah bin Syaqiq mengatakan :” para sahabat Nabi berpendapat bahwa tidak ada satupun amal yang bila ditinggalkan menyebabkan kafir, kecuali shalat.” ( diriwayatkan oleh Turmudzi dan Al-Hakim menyatakannya shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Muslim ).
Ishaq bin Rahawaih, seorang Imam terkenal mengatakan : “telah dinyatakan dalam hadith shahih dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam bahawa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para ulama sejak zaman Nabi sampai sekarang ini, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu halangan sehingga lewat waktunya adalah kafir.”
Dituturkan oleh Ibnu Hazm bahwa pendapat tersebut telah dianut oleh Umar, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, dan para sahabat lainnya, dan ia berkata : “ dan sepengetahuan kami tidak ada seorang pun diantara sahabat Nabi yang menyalahi pendapat mereka ini ”, keterangan Ibnu Hazm ini telah dinukil oleh Al Mundziri dalam kitabnya At Targhib Wat Tarhib, dan ada tambahan lagi dari para sahabat iaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu, ia berkata lebih lanjut : “ dan diantara para ulama yang bukan dari sahabat adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abdullah bin Al Mubarak, An Nakhoi, Al Hakam bin Utbaibah, Ayub As Sikhtiyani, Abu Daud At Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan lain lainnya.”
Jika ada pertanyaan : apakah jawaban atas dalil dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir ?
Jawapan : Tidak disebutkan dalam dalil dalil ini bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau mu’min, atau tidak masuk neraka, atau masuk shurga, dan yang semisalnya.
Siapapun yang memperhatikan dalil dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan bahwa dalil dalil itu tidak keluar dari lima bagian dan kesemuanya tidak bertentangan dengan dalil dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.
Bahagian pertama : haditt-hadith dhaif dan tidak jelas, orang yang menyebutkannya berusaha untuk dapat dijadikan sebagai landasan hukum, namun tetap tidak membawa hasil.
Bahagian kedua : pada dasarnya, tidak ada dalil yang menjadi pijakan pendapat yang mereka anut dalam masalah ini, seperti dalil yang digunakan oleh sebahagian orang, iaitu firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن
يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampunkan dosa syirik, dan akan mengampunkan dosa yang lain dari itu bagi sesiapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesiapa yang mempersekutukan Allah (dengan sesuatu yang lain), maka sesungguhnya ia telah melakukan dosa yang besar. Sesungguhnya Allah sentiasa Mendengar, lagi sentiasa Melihat." ( Surah An-Nisaa': 48)
Firman Allah “ ما دون ذلك ” artinya : “dosa dosa yang lebih kecil dari pada syirik ”, bukan “ dosa yang selain syirik ”, berdasarkan dalil bahwa orang yang mendustakan apa yang diberitakan Allah dan RasulNya adalah kafir, dengan kekafiran yang tidak diampuni, sedangkan dosa orang yang meninggalkan shalat tidak termasuk syirik.

Andaikata kita menerima bahawa firman Allah ما دون ذلك ” artinya adalah “dosa dosa selain syirik”, nescaya inipun termasuk dalam bab Al-Amm Al-Makhsus ( dalil umum yang bersifat khusus ), dengan adanya nash-nash lain yang menunjukkan adanya kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam termasuk dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk syirik.

Bahagian ketiga : dalil umum yang bersifat khusus, dengan hadith-hadith yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.
Contohnya : Sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadith yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu :
ما من عبد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله إلا حرمه الله على النار
“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya, kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”
Inilah salah satu lafadznya, dan diriwayatkan pula dengan lafadz saperti ini dari Abu Hurairah, Ubadah bin Shamit dan Atban bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Bahagian keempat : dalil umum yang muqoyyad ( dibatasi ) oleh suatu ikatan yang tidak mungkin baginya meninggalknan shalat.
Contohnya : Sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadith yang dituturkan oleh Itban bin Malik radhiallahu ‘anhu :
ما من أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله صدقا من قلبه إلا حرمه الله على
“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ihlas dalam hatinya ( semata mata karena Allah ), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”
Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadith yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu :
ما من أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله صدقا من قلبه إلا حرمه الله على النار
“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ihlas dalam hatinya ( semata mata karena Allah ), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”( HR. Bukhari).
Dengan dibatasinya pernyataan dua kalimat syahadat oleh keihlasan niat dan kejujuran hati, menunjukkan bahwa shalat tidak mungkin akan ditinggalkan, karena siapapun yang jujur dan ihlas dalam pernyataannya niscaya kejujuran dan keihlasannya akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat, dan tentu saja, karena shalat merupakan sendi Islam, serta media komunikasi antara hamba dan Tuhan.
Maka apabila ia benar benar mengharapkan perjumpaan dengan Allah, tentu akan berbuat apapun yang dapat menghantarkannya ke tujuannya itu, dan menjauhi apa yang menjadi pengahalangnya.
Demikian pula orang yang mengucapkan kalimat “La Ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah” secara jujur dari lubuk hatinya, tentu kejujurannya itu akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat dengan ikhlas semata mata karena Allah, dan mengikuti tuntunan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, karena hal itu termasuk syarat syarat syahadat yang benar.
Bahagian kelima : dalil yang disebutkan secara muqoyyad (dibatasi ) oleh suatu kondisi yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat.
Contohnya : hadits riwayat Ibnu Majah, dari Hudzaifah bin Al Haman, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
“Akan hilang Islam ini sebagaimana akan hilang ornamen yang terdapat pada pakaian”… “dan tinggallah beberapa kelompok manusia, yaitu kaum lelaki dan wanita yang tua renta, mereka berkata :”kami mendapatkan orang tua kami hanya menganut kalimat “La Ilaha Illallah” ini, maka kamipun menyatakannya ( seperti mereka )"
Shilah berkata kepada Hudzaifah :” Tidak berguna bagi mereka kalimat “La Ilah Illallah”, bila mereka tidak tahu apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, apa itu zakat.”, maka Hudzaifah radhiallahu ‘anhu memalingkan mukanya dengan menjawab :” wahai Shilah, kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari api neraka”, berulangkali dia katakan seperti itu kepada Shilah, dan ketiga kalinya dia mengatakan sambil menatapnya.
Orang orang yang selamat dari api neraka dengan kalimat syahadat saja, mereka itu dimaafkan untuk tidak melaksanakan syariat Islam, karena mereka sudah tidak mengenalnya, sehingga apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja, kondisi mereka adalah serupa dengan kondisi orang yang meninggal dunia sebelum diperintahkannya syariat, atau sebelum mereka mendapat kesempatan untuk mengerjakan syariat, atau orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi sebelum sempat mengenal syariat ia meninggal dunia.
Kesimpulannya, bahwa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa tidak kafir orang yang tidak shalat atau meninggalkannya, tidak dapat melemahkan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, karena dalil-dalil yang mereka pergunakan itu dhaif, dan tidak jelas, atau sama sekali tidak membuktikan kebenaran pendapat mereka, atau dibatasi oleh suatu ikatan yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau dibatasi oleh suatu kondisi yang menjadi alasan untuk meninggalkan shalat, atau dalil umum yang bersifat husus dengan adanya nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.
Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, berdasarkan dalil yang kuat yang tidak dapat disanggah dan disangkal lagi, untuk itu harus dikenakan kepadanya konsekwensi hukum karena kekafiran dan riddah ( keluar dari Islam ), sesuai dengan prinsip “hukum itu dinyatakan ada atau tidak ada mengikuti ilat ( alasan) nya”.
(Dinukil dari حكم تارك الصلاة, Edisi Indonesia Hukum orang yang meninggalkan sholat. Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin rahimahullah)
Penyunting/Editor:HAR

Hukum untuk orang yang meninggalkan sholat bhg.2

PASAL KEDUA

KONSEKWENSI HUKUM KARENA RIDDAHYANG DISEBABKAN KARENA MENINGGALKAN SHALAT ATAU SEBAB YANG LAINNYA

Ada beberapa kosekwensi hukum baik yang bersifat duniawi, maupun ukhrawi, yang terjadi karena riddah ( keluar dari Islam ) :

1- Kehilangan haknya sebagai wali.

Oleh karena itu, dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan persyaratan kewalian dalam Islam, dengan demikian, ia tidak boleh dijadikan wali untuk anak anaknya atau selain mereka, dan tidak boleh menikahkan salah seorang putrinya atau putri orang lain yang dibawah kewaliannya.

Para ulama fiqh kita - Rahimahumullah – telah menegaskan dalam kitab kitab mereka yang kecil maupun besar, bahwa disyaratkan beragama islam bagi seorang wali apabila mengawinkan wanita muslimah, mereka berkata : “ tidak sah orang kafir menjadi wali untuk seorang wanita muslimah.”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata : “ Tidak sah suatu pernikahan kecuali disertai dengan seorang wali yang bijaksana, dan kebijaksanaan yang paling agung dan luhur adalah agama Islam, sedang kebodohan yang paling hina dan rendah adalah kekafiran, kemurtaddan dari Islam".

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :

وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ

"Tidak ada orang yang membenci agama Nabi Ibrahim selain dari orang yang membodohkan dirinya sendiri,....." (Surah Al-Baqarah:130)

2- Kehilangan haknya untuk mewaris harta kerabatnya.

Sebab orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam, begitu pula orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir, berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

" لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم "

“Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim.” ( HR. Bukhari dan Muslim ).

3- Dilarang baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haramnya.

Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

يا أيها الذين آمنوا إنما المشركون نجس فلا يقرب المسجد الحرام بعد عامهم هذا

"Wahai orang yang beriman! Sesungguhnya orang musyrik itu najis, oleh itu janganlah mereka menghampiri Masjid Al-Haraam sesudah tahun mereka ini;....." (Surah At-Taubah:28)

4- Diharamkan makan haiwan sembelihannya.

Seperti unta, sapi, kambing, dan haiwan lainnya, yang termasuk syarat dimakannya adalah sembelih, karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya harus seorang muslim atau ahli kitab ( Yahudi dan Nasrani ), adapun orang murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka sembelihan mereka tidak halal.

Al Khazin dalam kitab tafsirnya mengatakan : “Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan orang orang majusi dan orang orang musyrik seperti kaum musyrikin arab, para penyembah berhala, dan mereka yang tidak mempunyai kitab, haram hukumnya.”

Dan Imam Ahmad mengatakan : “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang berpendapat selain demikian, kecuali orang orang ahli bid’ah.”

5- Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat
untuknya.

Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَىَ قَبْرِهِ

إِنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُواْ وَهُمْ فَاسِقُونَ


"Dan janganlah engkau sembahyangkan seorang pun yang mati dari orang munafik itu selama-lamanya, dan janganlah engkau berada di (tepi) kuburnya,kerana sesungguhnya mereka telah kufur kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati sedang mereka dalam keadaan fasik." (Surah At-Taubah:84)

Dan firmanNya :
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

"Tidaklah dibenarkan bagi Nabi dan orang yang beriman, meminta ampun bagi orang yang musyrik, sekali pun orang itu kaum kerabat sendiri,sesudah nyata bagi mereka bahawa orang musyrik itu adalah ahli neraka." (Surah At-Taubah:113)

Dan Firman Allah selanjutnya:

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلاَّ عَن مَّوْعِدَةٍ وَعَدَهَا

إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ

"Dan bukanlah istighfar Nabi Ibrahim bagi bapanya melainkan kerana janji yang dijanjikan kepadanya; dan apabila ternyata kepada Ibrahim bahawa bapanya musuh bagi Allah, ia pun berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim itu lembut hati lagi penyabar. "
(Surah At-Taubah:113)

Doa seseorang untuk memintakan ampun dan rahmat untuk orang yang mati dalam keadaan kafir, apapun sebab kekafirannya, adalah pelanggaran dalam doa, dan merupakan suatu bentuk penghinaan kepada Allah, dan penyimpangan dari tuntunan Nabi dan orang orang yang beriman.

Bagaimana mungkin orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat mau mendoakan orang yang mati dalam keadaan kafir, agar diberi ampun dan rahmat, padahal dia adalah musuh Allah ?

Sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
مَن كَانَ عَدُوًّا لِّلّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ
فَإِنَّ اللّهَ عَدُوٌّ لِّلْكَافِرِينَ

"Sesiapa memusuhi Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, khasnya malaikat Jibril dan Mikail, (maka ia akan diseksa oleh Allah) kerana sesungguhnya Allah adalah musuh bagi orang yang kafir." (Surah Al-Baqarah:98)

Dalam ayat ini, Allah telah menjelaskan bahwa Dia adalah musuh nya semua orang orang kafir. Yang wajib bagi orang mu’min ialah melepaskan diri dari setiap orang kafir, karena firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاء مِّمَّا تَعْبُدُونَ
إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ


"Dan tatkala Nabi Ibrahim berkata kepada bapanya dan kaumnya: Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah. Yang lain dari Tuhan yang menciptakan daku, kerana sesungguhnya Ia tetap memberi petunjuk kepadaku. " (Surah Az-Zukhruf:26-27)

Dan firmanNya :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ


اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ


لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن شَيْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

"Sesungguhnya adalah bagi kamu pada Nabi Ibrahim dan pengikut-pengikutnya contoh ikutan yang baik, semasa mereka berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah yang lain dari Allah; kami ingkarkan penyembahan kamu dan nyatalah permusuhan dan kebencian di antara kami denganmu selama-lamanya, sehingga kamu menyembah Allah Yang Esa, kecuali ucapan Ibrahim kepada bapanya: Aku akan memohon keampunan bagimu, dan aku tidak berkuasa menahan (azab) dari Allah sedikitpun daripada menimpamu. (Ibrahim berkata): Wahai Tuhan kami! Kepada-Mu kami berserah diri, dan kepada-Mu kami bertaubat, serta kepada-Mu jua tempat kembali!" ( Surah Al-Mumtahanah:4)

Untuk mencapai demikian adalah dengan mutaba’ah ( meneladani ) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
وَأَذَانٌ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأَكْبَرِ أَنَّ اللّهَ بَرِيءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِن

"Dan inilah perisytiharan dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia, pada Hari Haji yang terbesar, bahawa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya memutuskan tanggungjawab terhadap orang musyrik;...." (Surah At-Taubah:3)
6- Dilarang menikah dengan wanita muslimah.
Karena dia kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash dan ijma’.

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ
مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُم
أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذَلِكُم
حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

"Wahai orang yang beriman! Apabila orang perempuan yang mengaku beriman datang berhijrah kepada kamu, maka ujilah (iman) mereka; Allah lebih mengetahui akan iman mereka; maka sekiranya kamu mengetahui bahawa mereka beriman, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang kafir itu. Dan tidak halal pula orang kafir itu bagi mereka. Dan berikan mereka apa yang mereka belanjakan. Dan tidaklah salah kamu mengahwini mereka apabila kamu memberi kepada mereka mas kahwinnya. Dan janganlah kamu berpegang pada akad nikahmu dengan wanita-wanita kafir, dan mintalah apa yang telah kamu belanjakan, dan biarlah mereka meminta apa yang mereka telah berikan. Demikianlah hukum Allah; Ia hukumkan di antara kamu. Dan (ingatlah), Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana. " (Surah Al-Mumtahanah:10)

Dikatakan dalam kitab Al Mughni, jilid 6, hal 592 : “Semua orang kafir, selain Ahli kitab, tidak ada perbezaan pendapat diantara para ulama, bahwa wanita wanita dan sembelihan sembelihan mereka haram bagi orang Islam …, dan wanita wanita yang murtad ( keluar dari Islam ) ke agama apapun haram untuk dinikahi, karena dia tidak diakui sebagai pemeluk agama baru yang dianutnya itu, sebab kalau diakui sejak semula sebagai pemeluk agama itu, maka kemungkinan boleh dihalalkan.” ( seperti wanita yang berpindah dari agama Islam ke agama ahli kitab, maka diharamkan untuk dinikahi, tetapi bila wanita itu sejak semula telah memeluk agama ahli kitab ini, maka dihalalkan untuk dinikahi, pent ).

Dan disebutkan dalam bab “ orang murtad ”, jilid 8, hal 130 : “Jika dia kawin, tidak sah perkawinannya, karena tidak ditetapkan secara hukum untuk menikah, dan selama tidak ada ketetapan hukum untuk pernikahannya, dilarang pula pelaksanaan pernikahannya, seperti pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah.”

Sebagaimana diketahui, telah dikemukakan dengan jelas, bahwa dilarang menikah dengan wanita yang murtad, dan tidak sah kawin dengan laki laki yang murtad.

Dikatakan pula dalam kitab Al-Mughni, jilid 6, hal 298 : “apabila salah soerang dari suami isteri murtad sebelum sang isteri digauli, maka batallah pernikahan mereka seketika itu, dan masing masing pihak tidak berhak untuk mewarisi yang lain, namun, jika murtad setelah digauli maka dalam hal ini ada dua riwayat : pertama : segera dipisahkan, kedua : ditunggu sampai habis masa iddah.”

Dan disebutkan dalam Al-Mughni, jilid 6, hal 639 : “Batalnya pernikahan karena riddah sebelum sang isteri digauli adalah pendapat yang dianut oleh mayoritas para ulama, berdasarkan banyak dalil, adapun bila terjadi setelah digauli, maka batallah pernikahan seketika itu juga, menurut pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah, dan menurut pendapat Imam Syafii : ditunggu sampai habis masa iddahnya, dan menurut Imam Ahmad ada dua riwayat seperti kedua madzhab tersebut.”

Kemudian disebutkan pula pada halaman 640 : “apabila suami isteri itu sama sama murtad, maka hukumnya adalah seperti halnya apabila salah satu dari keduanya murtad, jika terjadi sebelum digauli, segera diceraikan antara keduanya. Dan jika terjadi sesudahnya, apakah segera diceraikan atau menunggu sampai habis masa iddah ? ada dua riwayat, dan inilah madzhab Syafi’i."

Selanjutnya disebutkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidaklah batal berdasarkan istihsan ( kebijaksanaan yang diambil berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tanpa mengacu kepada nash secara khusus, pent ), karena dengan demikian, agama mereka berbeza, sehingga ibaratnya seperti kalau mereka sama sama beragama Islam. Kemudian analogi yang digunakan itu disanggah oleh penulis al Mughni dari segala segi dan aspeknya.

Apabila telah jelas dan nyata bahwa pernikahan orang murtad dengan laki laki atau perempuan yang beragama Islam itu tidak sah, berdasarkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah, dan orang yang meninggalkan shalat adalah kafir berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah serta pendapat para sahabat, maka jelaslah bagi kita bahwa seseorang apabila tidak shalat, dan mengawini seorang wanita muslimah, maka pernikahannya tidak sah, dan tidak halal baginya wanita itu dengan akad nikah ini, begitu pula hukumnya apabila pihak wanita yang tidak shalat.

Hal ini berbeza dengan pernikahan orang orang kafir, ketika masih dalam keadaan kafir, seperti seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita kafir, kemudian sang istri masuk Islam, jika ia masuk Islam sebelum digauli, maka batallah pernikahan tadi, tapi jika masuk Islam sesudah digauli, belum batal pernikahannya, namun ditunggu : apabila sang suami masuk Islam sebelum habis masa iddah, maka wanita tersebut tetap menjadi isterinya, tetapi apabila telah habis masa iddahnya sang suami belum masuk Islam, maka tidak ada hak baginya terhadap isterinya, karena dengan demikian nyatalah bahwa pernikahannya telah batal, semenjak sang isteri masuk Islam.

Pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam ada sejumlah orang kafir yang masuk Islam bersama isteri mereka, dan pernikahan mereka tetap diakui oleh Nabi, kecuali jika terdapat sebab yang mengharamkan dilangsungkannya pernikahan tersebut, seperti apabila suami isteri itu berasal dari agama majusi dan terdapat hubungan kekeluargaan yang melarang dilangsungkannya pernikahan di antara keduanya, maka kalau keduanya masuk Islam, diceraikan seketika itu juga antara mereka berdua, karena adanya sebab yang mengharamkan tadi.

Masalah ini tidak seperti halnya orang muslim, yang menjadi kafir karena meninggalkan shalat, kemudian kawin dengan seorang wanita muslimah, wanita muslimah itu tidak halal bagi orang kafir berdasarkan nash dan ijma’, sebagaimana telah diuraikan di atas, sekalipun orang itu aslinya kafir bukan karena murtad, untuk itu, jika ada seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita muslimah, maka pernikahannya batal, dan wajib diceraikan antara keduanya. Apabila laki laki itu masuk Islam dan ingin kembali kepada wanita tersebut, maka harus dengan akad nikah yang baru.

7- Hukum anak orang yang meninggalkan shalat dari perkawinannya dengan wanita muslimah.

Bagi pihak isteri, menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, maka anak itu adalah anaknya, dan bagaimanapun tetap dinasabkan kepadanya, karena pernikahannya adalah sah.

Sedang menurut pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, dan pendapat ini yang benar sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada fasal pertama, maka kita tinjau terlebih dahulu : Jika sang suami tidak mengetahui bahwa pernikahannya batal, atau tidak menyakini yang demikian itu, maka anak itu adalah anaknya, dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan suami isteri yang dilakukannya dalam keadaan seperti ini adalah boleh menurut keyakinannya, sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan syubhat ( yang meragukan ), dan karenanya anak tadi tetap diikutkan kepadanya dalam nasab.

Namun jika sang suami itu mengetahui serta menyakini bahwa pernikahannya batal, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya, karena tercipta dari sperma orang yang berpendapat bahwa hubungan yang dilakukannya adalah haram, karena terjadi pada wanita yang tidak dihalalkan baginya.

KEDUA : KONSEKWENSI HUKUM YANG BERSIFAT UKHRAWI.

1- Dicaci dan dihardik oleh para malaikat.

Bahkan para malaikat memukuli seluruh tubuhnya, dari bahagian depan dan belakangnya.

Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :

وَلَوْ تَرَى إِذْ يَتَوَفَّى الَّذِينَ كَفَرُواْ الْمَلآئِكَةُ يَضْرِبُونَ

وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ وَذُوقُواْ عَذَابَ الْحَرِيقِ

"Dan kalau engkau melihat, ketika malaikat mengambil nyawa orang kafir dengan memukul muka dan belakang mereka (sambil berkata): Rasalah kamu azab seksa neraka yang membakar." (Surah Al-Anfaal:50)

Dan firman Allah subhaanahu wa ta'ala selanjutnya:

ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيكُمْ وَأَنَّ اللّهَ لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيدِ

"Yang demikian itu ialah disebabkan oleh tangan kamu sendiri, kerana sesungguhnya Allah tidak sekali-kali berlaku zalim kepada hamba-hamba-Nya. " (Surah Al-Anfaal:51)

2- Pada hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama orang orang kafir dan dan musyrik, karena ia termasuk dalam golongan mereka.

Firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ

“( Kepada para malaikat diperintahkan ) Himpunkanlah orang yang zalim itu, dan orang yang berkeadaan seperti mereka, serta benda-benda yang mereka sembah." ( Surah Ash-Shaaffat:22)

Lagi Firman Allah subhaanahu wa ta'ala:

مِن دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ

"Yang lain dari Allah, serta hadapkanlah mereka ke jalan yang membawa ke Neraka." (Surah Ash-Shaaffat:23)

Kata “ أزواج ” bentuk jama’ dari “ زوج ” yang berarti : jenis, macam.

“Kumpulkanlah orang orang yang musyrik dan orang orang yang sejenis mereka, seperti orang orang kafir dan yang dzalim lainnya.”

3- Kekal untuk selama lamanya di alam neraka.

Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَّا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا

"Sesungguhnya Allah telah melaknat orang kafir dan disediakan bagi mereka api Neraka yang menjulang. Kekallah mereka di dalamnya selama-lamanya; mereka pula tidak akan memperoleh sesiapa pun yang akan menjadi pelindung atau penolong. Pada masa muka mereka dibalik-balikkan dalam Neraka, mereka berkata: Alangkah baiknya kalau kami dahulu taat kepada Allah serta Rasul Allah! (Surah Al-Ahzaab:64-66)


PENUTUP

Hanya sampai di sini apa yang ingin penulis sampaikan, tentang permasalahan yang besar ini, yang telah melanda banyak orang.

Pintu taubat masih terbuka bagi siapapun yang hendak bertaubat, karena itu, saudaraku se Islam, segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan ikhlas semata mata kepada-Nya, menyesali apa yang telah diperbuat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memperbanyak amal ketaatan.


Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :


إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا

"Kecuali orang yang bertaubat dan beriman serta mengerjakan amal yang baik, maka orang itu, Allah akan menggantikan kejahatan mereka dengan kebaikan; dan adalah Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. Dan sesiapa yang bertaubat serta beramal soleh, maka sesungguhnya (dengan itu) ia bertaubat kepada Tuhannya dengan sebenar-benar taubat. " (Surah Al-Furqaan:70-71)

Semoga Allah melimpahkan taufikNya kepada kita dalam urusan ini, menunjukkan kepada kita semua jalan-Nya yang lurus, jalan orang orang yang dikaruniai kenikmatan oleh Allah, iaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin, Bukan jalan orang orang yang dimurkai atau orang orang yang tersesat.

Selesai ditulis oleh : Al faqir Ilallahi ta’ala - Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin- Pada tanggal 23 Shafar 1407 H. (Dinukil dari حكم تارك الصلاة, Edisi Indonesia Hukum orang yang meninggalkan sholat, penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin rahimahullah)

Penyunting/Editor: HAR